Pemerintah Terapkan Pengamanan Berlapis Dana MBG Cegah Penyimpangan

Oleh : Syahana Putri )*

Isu penyelewengan dana MBG yang belakangan mencuat sejatinya tidak berdasar dan telah diklarifikasi oleh berbagai pihak terkait. Dana MBG dikelola secara profesional dan diawasi ketat oleh lembaga negara serta melibatkan peran aktif masyarakat untuk memastikan akuntabilitasnya.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi salah satu upaya strategis dalam meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak dan pelajar. Namun, seiring besarnya skala program ini—dengan anggaran yang mencapai Rp 70 triliun dan potensi penambahan menjadi Rp 170 triliun—muncul pula isu-isu yang mencoba meragukan integritas pengelolaannya.

Salah satu isu yang ramai diperbincangkan adalah dugaan penyelewengan dana di wilayah SPPG Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan. Penting untuk ditegaskan bahwa tudingan ini tidak berdasar dan hanya merupakan persoalan internal antara mitra dan yayasan, bukan menyangkut institusi negara seperti BGN. Justru dalam kasus ini, pengawasan yang ketat dari BGN dan lembaga negara lainnya telah berhasil mendeteksi dan merespons situasi secara cepat dan transparan.

Kepala BGN, Dadan Hindayana, secara terbuka menyampaikan bahwa pihaknya telah melaksanakan kewajiban pembayaran dana MBG sesuai dengan ketentuan, yakni melalui transfer resmi ke rekening Virtual Account milik yayasan mitra, Media Berkat Nusantara (MBN). Tidak ada penyimpangan dalam prosedur pencairan dana oleh BGN. Kasus yang sempat mencuat itu murni terjadi karena kesalahpahaman internal antara mitra pelaksana dan pihak yayasan, bukan karena kelalaian atau tindakan korupsi dari pihak negara.

Setelah melalui mediasi bersama para pihak, termasuk kehadiran Kepala BGN, kegiatan dapur MBG di Kalibata kini kembali berjalan normal. Ini menandakan bahwa sistem pengawasan berlapis telah berjalan sebagaimana mestinya.

Lebih jauh, Dadan menegaskan bahwa BGN akan lebih selektif dalam menentukan mitra kerja sama ke depan. Ini mencerminkan responsifnya BGN dalam menyikapi dinamika pelaksanaan program MBG di lapangan. Tidak hanya menindaklanjuti secara administratif, tetapi juga membenahi aspek kelembagaan dan kerja sama agar tidak terulang kejadian serupa. Ini adalah bentuk nyata komitmen BGN untuk menjaga integritas program MBG demi kemaslahatan masyarakat.

Selain BGN, pengawasan terhadap dana MBG juga melibatkan sejumlah lembaga negara yang memiliki otoritas dan kompetensi dalam mengawal akuntabilitas keuangan publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pertemuan dengan jajaran BGN, menyatakan dukungannya dalam bentuk pencegahan dan monitoring terhadap potensi penyimpangan.

Ketua KPK Setyo Budiyanto. bahkan secara tegas menyampaikan bahwa meskipun potensi fraud tetap ada dalam program berskala besar, pengawasan dari KPK dan lembaga lain akan memastikan hal tersebut bisa dicegah sejak dini. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak menutup mata terhadap segala kemungkinan, dan telah menyiapkan perangkat serta prosedur untuk mengelola risiko secara sistematis.

Dalam rangka memperkuat pengawasan, BGN juga melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kejaksaan Agung. Koordinasi antar lembaga ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan sistem pengelolaan dana MBG yang transparan dan profesional. Semua proses, mulai dari pencairan, distribusi, hingga pelaporan, dilakukan dengan prinsip tata kelola yang ketat dan terstruktur. Ini menjadi jaminan bahwa dana MBG tidak bisa dikelola secara serampangan oleh pihak mana pun.

Keterlibatan masyarakat juga menjadi bagian penting dari sistem pengawasan berlapis ini. Isu yang sempat mencuat di Kalibata, misalnya, justru datang dari keberanian pihak mitra dalam menyampaikan laporan dan mencari keadilan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ruang dan kesempatan untuk turut mengawasi program ini.

Transparansi menjadi kata kunci utama dalam pelaksanaan program MBG. Isu yang sempat mencuat telah dijawab secara terbuka oleh pihak BGN. Proses mediasi pun dilakukan secara publik, dan hasilnya disampaikan kepada media tanpa ada yang ditutup-tutupi. Inilah yang menjadi bukti bahwa tuduhan penyelewengan dana MBG adalah keliru. Sistem pengawasan dan manajemen risiko yang diterapkan BGN serta pengawasan lintas lembaga negara telah membuat penyimpangan sulit terjadi, apalagi dalam skala besar.

Pemerintah tidak hanya menyusun program, tetapi juga memastikan pelaksanaannya diawasi secara ketat, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah. Pengawasan dilakukan secara berjenjang dan terpadu oleh BGN, diawasi oleh KPK, BPK, BPKP, dan Kejaksaan Agung. Kelemahan di titik tertentu, seperti kasus Kalibata, tidak serta-merta mencoreng keseluruhan program, melainkan menjadi pelajaran untuk memperkuat koordinasi dan sistem pengendalian internal. Sikap terbuka dan tanggap dari BGN menunjukkan bahwa program MBG tidak dijalankan secara asal-asalan, tetapi dengan semangat profesionalisme dan akuntabilitas tinggi.

Oleh karena itu, publik tidak perlu ragu atau khawatir terhadap isu penyelewengan dana MBG. Justru pengawasan yang ketat dan respons cepat dari pemerintah menjadi bukti bahwa dana MBG dikelola secara rigid dan profesional. Program ini tidak hanya menjadi simbol kepedulian negara terhadap gizi anak bangsa, tetapi juga contoh nyata bagaimana anggaran publik dapat dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik.

Mari kita dukung pelaksanaan program MBG dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak akurat. Kepercayaan publik adalah modal utama untuk menjadikan program ini sukses dan berkelanjutan demi masa depan Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

)* Penulis Adalah Pengamat Kebijakan Publik

Waspada Narasi Provokatif Terkait RUU Polri Ganggu Stabilitas Nasional

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) kembali mencuat ke permukaan. Rencana revisi ini mengundang perhatian publik, terutama karena beberapa poin yang dianggap kontroversial dan berpotensi mengubah wajah institusi Polri secara signifikan. Di tengah dinamika politik yang kian kompleks, masyarakat perlu mewaspadai potensi provokasi yang menyertai wacana ini.
Wacana revisi UU Polri tidak lepas dari permainan narasi yang sengaja dibentuk untuk membentuk opini publik. Salah satu bentuk provokasi yang perlu diwaspadai adalah penggunaan isu keamanan nasional atau ketertiban umum sebagai justifikasi perluasan kewenangan kepolisian. Narasi seperti ini dapat membuat masyarakat menerima revisi secara pasif, tanpa menyadari dampak jangka panjangnya terhadap kebebasan sipil.
Selain itu, ada pula narasi yang menyudutkan pihak-pihak yang kritis terhadap revisi, seolah-olah mereka tidak mendukung negara atau bahkan anti-polisi. Ini adalah bentuk polarisasi yang bisa memecah belah masyarakat, padahal kritik terhadap institusi negara merupakan bagian sah dari demokrasi.
Padahal, pihak DPR sendiri menyatakan belum mulai membahas beleid tersebut dikarenakan memang belum adanya Surat Presiden (Surpres). Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan pihaknya belum menerima Surpres soal rancangan undang-undang (RUU) terkait perubahan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dia menyebut draf RUU Polri yang beredar di media sosial bukan draf resmi.
Puan juga memastikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Polri yang beredar saat ini bukan draf resmi. Sebab pimpinan DPR hingga saat ini belum menerima Surpres terkait RUU tersebut.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni menyebutkan bahwa DPR tak bisa menutup-nutupi terkait sidang pembahasan RUU Polri. Oleh karena itu, Sahroni meminta jangan ada ketakutan seolah-olah DPR menutupi pembahasan RUU tersebut. Senada dengan Puan, Sahroni mengatakan hingga saat ini Surpres RUU Polri belum masuk ke DPR sehingga belum ada pembahasan mengenai RUU tersebut. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum menyerahkan draft revisi UU Polri versi pemerintah. DPR masih akan terus memantau bagaimana sikap dan pernyataan resmi pemerintah terhadap revisi UU yang telah berlaku selama 23 tahun itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyebutkan revisi UU Polri belum akan dibahas dalam waktu dekat. Dasco mengklaim belum ada Supres ihwal RUU Polri. RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan pihaknya siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak. Namun, saat ini Komisi III DPR masih memprioritaskan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, yang ditargetkan rampung pada Oktober 2025.
DPR RI telah memiliki rekam jejak dalam mengedepankan transparansi dalam pembahasan revisi KUHAP. Pendekatan serupa juga akan diterapkan dalam revisi UU Polri, di mana berbagai pihak akan diundang untuk memberikan masukan, termasuk akademisi, praktisi hukum, serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki kompetensi di bidang kepolisian dan hukum pidana.
DPR juga memastikan bahwa revisi UU Polri akan menjadi contoh transparansi dalam legislasi. Setiap tahapan pembahasan akan disampaikan secara jelas kepada publik dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan nantinya akan memiliki legitimasi yang kuat serta dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Pemerintah dan DPR telah menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga keterbukaan serta partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU Polri. Hingga saat ini, DPR masih menunggu Surpres dari pemerintah sebagai dasar resmi untuk membahas regulasi ini.
Regulasi yang diperbarui ini nantinya akan memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi aparat kepolisian dalam menjalankan tugas penegakan hukum, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, revisi ini juga bertujuan untuk memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap institusi kepolisian agar tetap transparan, akuntabel, serta berorientasi pada kepentingan publik.
Munculnya berbagai narasi negatif mengenai wacana revisi UU Polri patut disikapi secara bijak oleh masyarakat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi harus aktif mengawasi proses legislasi, namun jangan mudah terhasut isu-isu yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Jika publik apatis, maka ruang partisipasi akan diisi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang bisa saja memiliki agenda terselubung.
Dalam konteks ini, revisi UU Polri bukan sekadar isu teknis, melainkan berkaitan langsung dengan masa depan demokrasi dan kebebasan warga negara. Dengan melakukan pengawasan, masyarakat bisa mendorong agar revisi dilakukan secara bijak, berbasis kebutuhan riil di lapangan, dan tidak semata-mata untuk memperkuat posisi politik pihak tertentu. Media massa juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi secara objektif dan tidak terjebak pada narasi tunggal. Upaya jurnalisme investigatif dan forum-forum diskusi publik dapat menjadi saluran untuk membuka ruang debat yang sehat dan mencerahkan.

)* Penulis adalah Kontributor Beritakapuas.com

Revisi UU TNI: Langkah Strategis Menuju TNI yang Profesional dan Modern

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 20 Maret 2025 lalu. Keputusan ini merupakan tonggak penting dalam upaya memperkuat postur pertahanan nasional dan menyesuaikan peran TNI dengan dinamika perkembangan zaman.
Revisi ini tidak hanya memperjelas batasan tugas TNI, tetapi juga membuka peluang bagi prajurit aktif untuk berkontribusi dalam sektor sipil, tentunya dengan tetap menjaga prinsip supremasi sipil dan demokrasi. Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah penambahan dua tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu menanggulangi ancaman siber juga melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Penambahan ini mencerminkan adaptasi TNI terhadap ancaman non-konvensional yang semakin kompleks di era digital dan globalisasi. Dengan demikian, TNI diharapkan dapat lebih responsif dan efektif dalam menjaga kedaulatan negara.
Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Frega Wenas Inkiriwang menjamin bahwa militer tidak akan memata-matai sipil usai disahkannya revisi UU TNI. Frega menyatakan tugas pertahanan siber TNI yang termuat dalam undang-undang bukan untuk memata-matai masyarakat sipil. Iapun menyebut Kemhan memahami perbedaan pendapat dalam negara demokrasi. Menurutnya, kritik untuk lembaga pertahanan atau pemerintah adalah bentuk ekspresi yang wajar.
Humas Kemhan itu meminta masyarakat tidak perlu khawatir tentang revisi UU TNI bakal membelenggu kebebasan sipil dan berekspresi. Menurutnya, pertahanan siber akan berfokus dalam konteks “lebih besar”. Frega menjelaskan bahwa tentara akan dikerahkan membendung persepsi negatif hingga disinformasi terkait kedaulatan negara. Frega menilai terdapat pihak eksternal yang ingin menciptakan misinformasi, disinformasi, hingga malinformasi.
Revisi UU TNI juga mengatur mengenai jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Dalam UU yang lama, prajurit aktif hanya diperbolehkan menduduki posisi di pemerintahan setelah mengundurkan diri atau pensiun. Namun, dalam versi baru UU TNI, anggota TNI aktif kini diperbolehkan untuk menjabat di 14 kementerian atau lembaga, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Keamanan Laut. Jabatan tersebut dapat diisi oleh prajurit TNI aktif hanya berdasarkan permintaan kementerian/lembaga dan harus tunduk pada ketentuan dan administrasi yang berlaku. Di luar itu, TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan jika hendak mengisi jabatan sipil.
Revisi regulasi ini juga memperpanjang usia pensiun bagi prajurit TNI. Batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama diperpanjang menjadi 55 tahun, sementara perwira hingga pangkat kolonel tetap pada usia 58 tahun. Untuk perwira tinggi, masa dinas diperpanjang, khususnya bagi bintang empat, yakni 63 tahun dan maksimal 65 tahun. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi prajurit yang masih memiliki kapasitas dan dedikasi tinggi untuk terus berkontribusi dalam menjaga pertahanan negara.
Selain itu, revisi UU TNI juga menekankan pentingnya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) melalui penguatan industri pertahanan dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian produksi alutsista serta memperkuat kemampuan tempur TNI dalam menjaga kedaulatan negara. Di sisi lain, peningkatan kesejahteraan prajurit juga menjadi fokus utama. RUU ini mencakup perbaikan sistem jaminan sosial bagi keluarga prajurit, serta penyesuaian usia pensiun dan jenjang karier sesuai kebutuhan organisasi.
Meskipun revisi ini memberikan ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, hal ini tidak berarti bahwa TNI akan kembali ke era dwifungsi ABRI. Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI. Seluruh posisi yang diduduki perwira TNI tetap disesuaikan dengan kebutuhan dan tugas yang diperlukan oleh presiden. Dengan demikian, prinsip netralitas dan supremasi sipil tetap dijaga.
Kepala Hukum (Kakum) Koharmatau, Letkol Kum Anwar Musyadad, menyampaikan bahwa TNI tetap menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Ia menegaskan bahwa TNI akan terus menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil dengan mematuhi garis profesionalisme dalam pelaksanaan tugas. Prinsip ini selaras dengan komitmen Panglima TNI yang disampaikan dalam rapat bersama Komisi I DPR RI.
Senada, Fraksi Partai Gerindra DPR RI juga menyatakan bahwa revisi UU TNI sejalan dengan prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Ketua Fraksi Gerindra DPR, Budisatrio Djiwandono, menegaskan bahwa revisi ini bukan langkah mundur dalam reformasi TNI, tetapi merupakan bentuk adaptasi terhadap dinamika pertahanan modern. Revisi ini memastikan TNI siap menghadapi tantangan zaman dan memperkuat pertahanan negara terhadap ancaman baru yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Pengesahan revisi UU TNI merupakan langkah strategis dalam memperkuat postur pertahanan nasional. Dengan penambahan tugas pokok, peluang jabatan sipil bagi prajurit aktif, penyesuaian usia pensiun, dan fokus pada modernisasi alutsista serta kesejahteraan prajurit, TNI diharapkan dapat menjadi institusi yang profesional dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Dukungan terhadap revisi ini menunjukkan komitmen untuk menjaga kedaulatan negara dan memastikan TNI tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan pertahanan Indonesia.

)* Penulis adalah mahasiswa Bandung tinggal di Jakarta

Pembahasan Revisi UU Polri Dipastikan Berlangsung Terbuka dan Transparan

Wacana pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) masih terus bergulir, meskipun pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut belum menerima Surat Presiden (Surpres) terkait perubahan regulasi tersebut.
Ketua DPR, Puan Maharani menampik kabar yang menyebutkan DPR segera membahas revisi UU Polri setelah mengesahkan revisi UU TNI. Puan menegaskan, apabila ada Surpres yang beredar di publik, itu bukan Surpres resmi yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dia juga memastikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Polri yang beredar saat ini bukan draf resmi karena pimpinan DPR belum menerima Surpres RUU tersebut.
Pembahasan RUU Polri harus mengedepankan prosedur yang transparan serta berlandaskan prinsip akuntabilitas. Ia meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi terhadap dokumen yang belum memiliki landasan resmi. Sebagai bagian dari komitmen terhadap keterbukaan, DPR akan memastikan bahwa setiap perkembangan pembahasan regulasi ini akan diinformasikan secara resmi kepada publik.
Untuk diketahui, RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR, yang pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Presiden RI, Prabowo Subianto sepakat bahwa UU Polri yang ada saat ini sudah cukup mengatur kewenangan kepolisian. Kepala Negara pun menegaskan Polri membutuhkan kewenangan yang cukup tanpa menambah kewenangan di luar apa yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar Polri dapat menjalankan tugasnya, serta menjaga keamanan dan ketertiban di tanah air.
Terkait dengan pembentukan RUU Polri yang dianggap kurang transparan dan menuai banyak protes dari masyarakat, Presiden Prabowo punya jawaban. Prabowo berkomitmen akan memberi perhatian khusus untuk memastikan adanya akses terhadap draf RUU Polri. Transparansi dalam setiap proses legislasi akan diperbaiki sehingga masyarakat dapat memantau dengan bebas.
Kepala Negara akan meminta kepada anggota parlemen, khususnya yang berasal dari koalisi partai politiknya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Dengan cara ini diharapkan masyarakat awam mampu terlibat lebih banyak dalam proses pembuatan aturan yang menyangkut kepentingan publik.
Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari pun menyebut bahwa Prabowo memahami keresahan publik terkait isu transparansi dalam menjaga keterbukaan dalam pembahasan revisi UU Polri. Noor Azhari mengatakan Presiden telah memastikan bahwa dokumen resmi RUU Polri akan disebarluaskan secara berkala agar masyarakat bisa memantau dan memberikan masukan langsung, dan hal ini patut diapresiasi. Di samping itu, ia menilai bahwa Presiden Prabowo tetap setia pada prinsip reformasi yang telah diperjuangkan sejak awal, sebagaimana disampaikannya dalam wawancara eksklusif dengan para jurnalis kawakan yang membahas berbagai isu strategis, termasuk revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Noor Azhari menegaskan bahwa agenda reformasi yang dijalankan Presiden Prabowo akan terus dikawal oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk lembaga kajian strategis seperti MPSI.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan memastikan pembahasan RUU Polri akan dibahas setelah parlemen menerima Surpres. Politikus Partai Demokrat itu mengatakan Komisi III akan mengundang banyak ahli yang memiliki kapasitas memberi masukan tentang aturan kepolisian Indonesia. Menurutnya, keterbukaan menjadi tolok ukur komisinya untuk membahas RUU Polri. Hinca pun memastikan, jika RUU Polri dibahas di Komisi III, maka pembahasannya akan dilakukan secara terbuka seperti yang dilakukan saat membahas RUU KUHAP.
Anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra, menilai bahwa revisi UU Polri harus dilakukan secara cermat agar dapat menyesuaikan diri dengan revisi KUHAP yang saat ini sedang menjadi prioritas pembahasan di parlemen. Menurutnya, perubahan dalam hukum acara pidana akan berdampak langsung pada tata kelola kepolisian, sehingga diperlukan koordinasi yang baik antara kedua regulasi tersebut. Pembahasan RUU Polri baru dapat dilakukan setelah penyelesaian revisi KUHAP agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam pengaturan kewenangan aparat penegak hukum.
DPR juga memastikan bahwa revisi UU Polri akan menjadi contoh transparansi dalam legislasi. Setiap tahapan pembahasan akan disampaikan secara jelas kepada publik dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan nantinya akan memiliki legitimasi yang kuat serta dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir akan pembahasan revisi UU Polri karena akan melibatkan berbagai elemen sehingga akan diakses secara mudah oleh publik. Saat ini masyarakat dituntut untuk lebih cerdas dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi-narasi negatif mengenai wacana revisi UU Polri. Upaya politisasi terhadap wacana revisi UU Polri bukan sekadar perbedaan pandangan, melainkan bagian dari skenario yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Dengan adanya kesadaran masyarakat, narasi provokatif terkait wacana revisi UU Polri tidak akan menemukan ruang, sehingga bangsa Indonesia tetap kokoh menghadapi tantangan global dengan kesatuan visi dan semangat kebangsaan yang utuh.

)* Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik

Memahami Tujuan dan Makna Revisi UU TNI

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika geopolitik global maupun domestik, revisi UU ini dinilai penting untuk menyesuaikan peran TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional.
Namun, di tengah pembahasan ini, muncul pula berbagai opini dan provokasi yang berpotensi menyesatkan publik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami sisi positif dari revisi UU TNI serta tetap waspada terhadap informasi yang menyesatkan.
Untuk diketahui, UU TNI yang berlaku sebelumnya telah berusia lebih dari dua dekade. Dalam kurun waktu tersebut, banyak perubahan terjadi, baik dalam konteks ancaman keamanan, teknologi pertahanan, hingga kebutuhan operasional TNI di lapangan. Revisi UU TNI bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan upaya adaptasi terhadap perubahan zaman.
Salah satu alasan utama revisi adalah untuk memperluas tugas dan kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), seperti penanggulangan terorisme, penanganan bencana alam, pengamanan perbatasan, dan perlindungan terhadap objek vital nasional. Saat ini, ancaman terhadap keamanan negara tidak lagi hanya bersifat konvensional, tetapi juga melibatkan ancaman non-militer seperti siber, terorisme, dan ketegangan sosial yang kompleks.
Dengan revisi UU ini, TNI diharapkan dapat lebih fleksibel dan responsif terhadap ancaman yang tidak selalu bisa ditangani oleh aparat sipil. Misalnya, dalam menghadapi serangan siber atau ancaman terorisme yang terorganisir, sinergi antara TNI dan Polri dibutuhkan. Revisi UU memberi kerangka hukum yang lebih jelas dalam kerja sama tersebut.
Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan RI, Frega Wenas Inkiriwang menjamin militer tidak akan memata-matai sipil usai disahkannya revisi UU TNI. Frega menyatakan tugas pertahanan siber TNI yang termuat dalam undang-undang bukan untuk memata-matai masyarakat sipil. Serangan siber disebutnya dapat mengancam kedaulatan dan keselamatan negara. Misalnya, serangan terhadap fasilitas data negara dapat mengganggu sektor energi, transportasi, hingga menimbulkan dampak lebih luas dan strategis.
Selain itu, TNI memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah dalam situasi darurat nasional, seperti pandemi, bencana alam, atau konflik horizontal. Revisi UU ini memungkinkan TNI terlibat lebih aktif dalam situasi semacam itu, tentunya dengan tetap menghormati prinsip-prinsip supremasi sipil dan demokrasi.
Revisi UU TNI juga membuka ruang bagi modernisasi organisasi TNI, termasuk pembentukan matra baru, pengembangan kekuatan cadangan, serta integrasi teknologi pertahanan modern. Hal ini penting agar Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pertahanan dan keamanan nasional.
Ketua Umum Serikat Pelajar Muslim Indonesia (Sepmi), Mohammad Wirajaya mengatakan UU ini dinilai sebagai langkah positif dalam memperkuat institusi pertahanan negara sekaligus memastikan profesionalisme dan modernisasi TNI dalam menghadapi dinamika geopolitik saat ini. Menurutnya, UU ini akan memberikan kepastian hukum dalam berbagai aspek, termasuk peningkatan kesejahteraan prajurit, optimalisasi peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional, serta memperjelas batasan dan tugas TNI sesuai dengan prinsip demokrasi. Menurutnya, reformasi dalam tubuh TNI harus terus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan agar dapat menjawab tantangan pertahanan modern.
Namun, di tengah pembahasan UU TNI, tidak sedikit pihak yang memelintir narasi dengan tujuan memecah belah bangsa. Beberapa pihak menyuarakan ketakutan bahwa perubahan UU TNI akan membawa Indonesia kembali ke masa militeristik. Padahal, dalam naskah revisi, tetap dijaga prinsip supremasi sipil. Pelibatan TNI dalam ranah sipil tetap dilakukan dalam koridor hukum dan pengawasan demokratis.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan RUU TNI yang baru saja disahkan pada 20 Maret 2025 lalu tidak akan membawa Indonesia menuju era dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru.
Menurut pria yang akrab disapa AHY ini, RUU TNI yang baru disahkan justru membatasi perwira TNI dalam memasuki instansi sipil. Hal tersebut justru akan memperjelas koridor TNI agar tidak merambah lagi ke jabatan di kementerian atau lembaga lain di luar yang diatur UU.
Selain itu, revisi tidak dimaksudkan untuk menggeser peran Polri, melainkan memperkuat sinergi antara kedua institusi. Dalam menghadapi ancaman kompleks, justru koordinasi dan kolaborasi antar-lembaga pertahanan dan keamanan sangat dibutuhkan.
Revisi UU TNI seharusnya dilihat sebagai bagian dari evolusi sistem pertahanan nasional yang sehat dan adaptif. Dalam proses ini, kontrol masyarakat, media, dan lembaga legislatif tetap dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip demokrasi. Namun, masyarakat juga harus bersikap objektif, tidak reaktif, serta tidak mudah terpancing provokasi yang belum tentu berdasar fakta.
Kedaulatan negara tidak hanya dijaga oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh ketahanan sosial dan kecerdasan warga negaranya dalam menyikapi isu strategis. Revisi UU TNI adalah momentum untuk memperkuat sistem pertahanan kita sekaligus mempererat kerja sama antar-lembaga negara dalam menjaga keutuhan NKRI.

)* Penulis adalah Alumni UNES tinggal di Jakarta

Mewaspadai Upaya Politisasi Isu UU TNI dan Wacana RUU Polri

Polemik mengenai Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan wacana revisi UU Polri masih menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Isu ini memicu berbagai aksi penolakan maupun dukungan publik di berbagai daerah. Berbagai pihak yang kontra terhadap UU TNI yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 20 Maret 2025 itu menilai bahwa regulasi tersebut akan membawa kembali dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru.
Menanggapi isu itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menepis hal tersebut. Menurutnya, RUU TNI yang baru saja disahkan beberapa waktu lalu tidak akan membawa Indonesia menuju era dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru. UU tersebut justru membatasi perwira TNI dalam memasuki instansi sipil. Hal ini, justru akan memperjelas koridor TNI agar tidak merambah lagi ke jabatan di kementerian atau lembaga lain di luar yang diatur UU.
Di satu sisi, AHY memahami masih banyak masyarakat yang salah persepsi dalam mengartikan seluruh pasal dalam UU TNI. Karenanya dia berharap ada UU TNI ini dapat disosialisasikan dengan maksimal sehingga masyarakat tahu tujuan utama dari UU tersebut.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Kementerian HAM RI, Munafrizal Manan, mengajak publik untuk mengingat kembali, konteks sejarah dan politik antara masa berlakunya dwifungsi ABRI pada masa lalu dan masa sekarang sangat jauh berbeda. Menurutnya, saat ini tidak ada prasyarat politik yang memungkinkan munculnya kembali dwifungsi tentara seperti masa lalu. Dwifungsi ABRI masa lalu dapat terjadi karena ada kekuatan politik yang dominan, sentralistik, monolitik, dan hegemonik.
Munafrizal menambahkan, dwifungsi ABRI pada masa lalu tidak hanya bertumpu pada UU yang berdimensi militer, tapi juga UU berdimensi politik. Oleh karena itu, Munafrizal menegaskan kekhawatiran bahwa perubahan UU TNI akan potensial menimbulkan pelanggaran HAM oleh TNI merupakan kesimpulan yang terlalu dipaksakan.
Disisi lain, Kepala Staf Resimen Mahasiswa Indonesia, M. Arwani Deni, juga melihat bahwa arah polemik ini tidak dapat dilepaskan dari posisi Indonesia yang kini semakin strategis dalam konstelasi global, terlebih sejak masuk ke dalam BRICS. Keberpihakan Indonesia terhadap tatanan dunia multipolar menjadi perhatian bagi kekuatan global tertentu yang selama ini mendominasi arsitektur politik dan ekonomi internasional. Langkah Indonesia untuk memperkuat sistem pertahanannya dipandang sebagai ancaman terhadap status quo yang selama ini dikendalikan oleh poros Barat.
Penolakan terhadap UU TNI juga dinilai sarat muatan geopolitik karena terjadi di tengah rivalitas kawasan, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Pasifik. Dalam situasi ini, berbagai kebijakan strategis Indonesia berpeluang menjadi target manuver kekuatan besar yang ingin mempertahankan pengaruhnya. Maka tidak mengherankan jika setiap upaya peningkatan kapasitas militer Indonesia langsung dibenturkan dengan wacana anti-demokrasi, meskipun sejatinya tidak ada satu pasal pun yang mengindikasikan kembalinya militer ke politik.
Untuk diketahui, pembahasan revisi UU TNI sebelumnya telah melibatkan elemen masyarakat. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi membantah narasi yang menyatakan revisi UU TNI dikerjakan secara kilat. Jenderal TNI bintang satu ini mengatakan revisi ini tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil. Penyusunannya telah mencakup Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan disusun sesuai dengan prinsip demokrasi serta hukum yang berlaku.
Sementara itu, wacana revisi UU Polri juga menjadi bahan spekulasi yang dibumbui dengan ketidakakuratan. Ketua DPR RI, Puan Maharani telah menegaskan bahwa belum ada pembahasan resmi maupun Surat Presiden (Surpres) terkait RUU tersebut, sehingga narasi yang dibangun di luar mekanisme resmi hanya akan memperkeruh situasi. Isu ini perlu diluruskan agar tidak dimanfaatkan sebagai bahan agitasi terhadap lembaga penegak hukum yang justru sedang diharapkan memperkuat profesionalisme dalam merespons tantangan zaman.
Upaya politisasi terhadap UU TNI dan wacana RUU Polri bukan sekadar perbedaan pandangan, melainkan bagian dari skenario yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah telah bertindak sesuai konstitusi dan tetap menjunjung prinsip keterbukaan. Dinamika ini memang bagian dari demokrasi, namun narasi yang berkembang menunjukkan kecenderungan mengarah pada provokasi yang membahayakan stabilitas nasional.
Untuk itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media menjadi penting agar kebijakan yang dilahirkan demi kedaulatan bangsa tidak digiring ke dalam konflik horizontal yang merugikan semua pihak. Indonesia harus berdiri tegak sebagai bangsa yang tidak mudah diintervensi, baik oleh tekanan dalam negeri yang dimanipulasi maupun oleh kekuatan luar yang berkepentingan.

)* Penulis adalah Analis Kebijakan Publik

Tolak UU TNI, Pemerintah Persilakan Publik Tempuh Jalur Hukum

Polemik terkait Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus memicu perdebatan publik meskipun telah disahkan DPR pada 20 Maret 2025 lalu. Beberapa kalangan yang menolak pengesahan undang-undang ini menyebut bahwa UU tersebut mengancam demokrasi karena keterlibatan TNI di ranah sipil.
Terkait dengan pengesahan UU TNI yang menuai pro dan kontra, masyarakat maupun lembaga yang merasa ada ketentuan dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 memiliki jalur konstitusional untuk menempuh upaya hukum. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah judicial review atau pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui proses ini, MK akan menilai apakah ketentuan dalam UU TNI tersebut sesuai dengan norma-norma konstitusi. Jika terbukti bertentangan, MK memiliki kewenangan untuk membatalkan pasal-pasal tertentu dalam undang-undang tersebut. DPR menegaskan bahwa judicial review merupakan jalur konstitusional yang sah bagi masyarakat yang merasa keberatan terhadap regulasi tersebut.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa pemerintah menghargai hak masyarakat untuk tidak sepakat dan menuntut agar UU TNI diuji secara hukum di MK. Dengan menempuh jalur ini, stabilitas nasional dapat tetap terjaga tanpa mengorbankan demokrasi dan supremasi hukum.
Oleh sebab itu, menjaga ketertiban dan menghormati prosedur hukum yang berlaku menjadi tanggung jawab bersama. Namun, pihaknya berharap masyarakat memberikan kesempatan kepada UU TNI untuk berjalan terlebih dahulu, agar bisa menyesuaikan peran dan fungsi TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern.
Menurutnya, mekanisme judicial review menjadi bagian dari sistem ketatanegaraan yang memungkinkan masyarakat menguji undang-undang yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah. Ia menegaskan bahwa tidak seharusnya ada dikotomi yang berlebihan antara berbagai kekuatan bangsa. Sebab Indonesia didirikan oleh berbagai golongan dan profesi dengan peran yang seimbang dalam membangun negara.
Dia memastikan UU TNI yang telah disahkan dalam sidang paripurna DPR tidak mengandung unsur dwifungsi TNI sebagaimana dikhawatirkan oleh sebagian pihak. Aturan baru tersebut menurut Supratman justru memberikan batasan yang jelas terkait jabatan sipil yang boleh diisi oleh personel militer.
Hal ini mempertegas bahwa kebijakan pemerintah bertujuan untuk memastikan TNI dalam menjaga kedaulatan negara, terutama di tengah ancaman baru yang bersifat lintas batas. TNI, dengan dukungan undang-undang yang jelas, diharapkan dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Senada, Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, menyatakan pihaknya tidak mempermasalahkan langkah judicial review yang diambil oleh masyarakat. Keputusan sepenuhnya ada di tangan MK untuk menilai apakah gugatan dapat diterima atau tidak.
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, segala tindakan, kebijakan, dan keputusan yang diambil oleh pemerintah maupun warga negara harus berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam sistem negara hukum, supremasi hukum dijunjung tinggi, dan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Dengan demikian, ketidaksetujuan terhadap isi suatu undang-undang, termasuk UU TNI, tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penolakan sepihak atau tindakan di luar jalur hukum. Negara telah menyediakan jalur hukum yang sah, terbuka, dan adil bagi siapa pun yang ingin memperjuangkan keadilan berdasarkan konstitusi.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, menilai bahwa kurangnya informasi yang utuh menjadi penyebab utama munculnya protes terhadap perubahan UU TNI. Aturan ini justru memperjelas peran dan fungsi TNI serta memastikan bahwa tidak ada indikasi kembalinya dwifungsi ABRI. Iswara meminta masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh isu yang tidak benar terkait UU TNI.
Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, turut mengimbau masyarakat untuk memahami isi UU TNI sebelum menyampaikan keberatan. Hinca sepakat bahwa judicial review ke MK merupakan jalur konstitusional yang bisa ditempuh. Menurutnya, kritik yang didasarkan pada pemahaman yang utuh akan lebih konstruktif.
Penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi terkait UU TNI. Seluruh pihak diharapkan mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara, serta tidak mudah terpengaruh oleh narasi provokatif. Dengan menempuh jalur ini, stabilitas nasional dapat tetap terjaga tanpa mengorbankan demokrasi dan supremasi hukum. Oleh sebab itu, menjaga ketertiban dan menghormati prosedur hukum yang berlaku menjadi tanggung jawab bersama.

)* Penulis adalah Alumni Unhas tinggal di Makasar

DPR: Pembahasan RUU Polri Terbuka dan Libatkan Banyak Tokoh

Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan masyarakat tidak perlu terprovokasi atau berspekulasi terkait beredarnya Surat Presiden (Surpres) mengenai revisi UU Polri di media sosial. Menurutnya, hingga saat ini DPR belum menerima dokumen resmi terkait revisi tersebut.

“Jadi kami pimpinan DPR belum menerima Surpres tersebut. Jika ada daftar inventarisasi masalah (DIM) yang beredar, itu bukan DIM resmi yang diterima oleh DPR. Itu kami tegaskan,” ujar Puan.

Lebih lanjut, Ketua DPR RI itu meminta masyarakat untuk menunggu dokumen resmi RUU Polri yang akan disampaikan oleh pemerintah kepada DPR. Ia menekankan pentingnya menelaah dokumen resmi guna menghindari misinformasi yang dapat menimbulkan kegaduhan publik.

Sebagai bagian dari upaya mewujudkan undang-undang yang lebih baik, pemerintah akan mengundang para ahli hukum, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil dalam proses diskusi dan penyusunan regulasi.

Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR menegaskan Komisi III akan mengundang banyak ahli yang memiliki kapasitas memberi masukan tentang aturan kepolisian Indonesia. Keterbukaan menjadi tolok ukur komisinya untuk membahas RUU Polri.

“Jika nantinya RUU Polri dialihkan ke Komisi III, pembahasannya akan dilakukan secara terbuka seperti yang telah kami lakukan sebelumnya dalam revisi KUHAP,” jelas Hinca.

Hal ini dilakukan agar RUU Polri dapat menjawab tantangan zaman dan memperkuat tata kelola kepolisian yang profesional serta sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Presiden RI, Prabowo Subianto turut memastikan pembahasan revisi UU Polri nantinya akan dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik.

Prabowo memastikan RUU yang dibahas bersama DPR ini akan melibatkan lebih banyak tokoh, dan naskah RUU-nya akan diungkap kepada masyarakat.

“Nanti akan saya bicarakan secara transparan, akan ada dengar pendapat dan naskah yang sah akan diungkap pada masyarakat,” ungkap Presiden Prabowo.

Tak Ada Surpres, Pembahasan Resmi RUU Polri Belum Dimulai

Pernyataan ini disampaikannya sebagai tanggapan atas desakan untuk segera membahas RUU tersebut.

Puan juga memastikan bahwa DPR RI belum menerima Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Polri dari pemerintah, sehingga pembahasan belum bisa dimulai.

Menurutnya, tanpa Surpres sebagai dasar hukum, tidak ada langkah lebih lanjut yang bisa diambil oleh DPR dalam membahas undang-undang tersebut.

Selain itu, Puan menyoroti adanya draf naskah serta daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang beredar di media sosial dan menimbulkan berbagai spekulasi di publik.

Puan menegaskan bahwa dokumen tersebut bukan merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun DPR.

“Jadi kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi,” tegas Puan.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan dari berbagai pihak untuk membahas RUU Polri, secara prosedural, DPR masih menunggu langkah resmi dari pemerintah.

Diketahui, isu pembahasan revisi UU Polri kembali mencuat setelah DPR mengesahkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang.

Adies Kadir, Wakil Ketua DPR, turut memastikan bahwa hingga kini belum ada Surpres revisi UU Polri di meja pimpinan.

“Surpres RUU Polri belum ada,” ujar Adies.

Dengan belum adanya Surpres, lanjut Adies, maka revisi UU Polri belum akan dibahas oleh DPR. Apalagi dalam waktu dekat.

“Yes (belum bisa membahas revisi UU Polri),” ucap politisi Partai Golkar itu.

Belakangan, di media sosial ramai memperbincangkan rencana DPR membahas revisi UU Polri setelah masa reses, atau masa sidang mendatang.

Sejumlah poin perubahan yang disorot publik, salah satunya kewenangan Polri dalam mengawasi ruang siber, hingga penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

Revisi UU TNI dan UU Polri Harus Dilihat Secara Objektif

“Revisi UU ini sangat penting dalam rangka memperbaiki sistem ketahanan nasional kita. Kami sebagai bagian dari lembaga legislatif, tentu mendukung upaya ini. Kami berharap bahwa suara rakyat dapat lebih diperhatikan dalam proses legislatif,” ucapnya.

Irawan berharap, dengan dukungan dan koordinasi yang baik antara masyarakat, mahasiswa, dan legislatif, perjuangan untuk mendukung UU TNI yang baru disahkan dan revisi UU Polri akan mendapatkan hasil yang optimal, demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

“Yang penting adalah kita terus bekerja sama untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak dan kepentingan rakyat,” tuturnya.

Ketua Gerakan Pemerhati Kepolisian (GPK), Abdullah Kelrey, turut menyambut baik RUU Polri karena akan menciptakan sistem rekrutmen, pendidikan, dan promosi jabatan yang lebih transparan serta berbasis meritokrasi.

“Hal ini memastikan bahwa Polri tidak hanya kuat dalam struktur, tetapi juga memiliki integritas tinggi dan mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Transparansi dalam rekrutmen akan mencegah praktik korupsi dan nepotisme yang selama ini menjadi tantangan dalam institusi kepolisian,” jelasnya.

Menurutnya, RUU ini juga mendorong pembentukan satuan-satuan khusus guna menangani isu tertentu dengan lebih fokus, sehingga fungsi preventif dan penegakan hukum semakin efektif dan tidak tumpang tindih dengan lembaga lain.

“Dengan demikian, Polri dapat lebih responsif terhadap dinamika sosial yang berkembang dan mampu mengantisipasi ancaman sejak dini,” sebutnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), Bob Hasan menilai revisi UU Polri harus dilihat secara objektif. Salah satu yang disoroti adalah Polri boleh melakukan tindakan spionase dan sabotase untuk mengumpulkan informasi dan bahan keterangan.

“Hal itu dikarenakan Indonesia telah memasuki era transformasi yang membutuhkan pandangan objektif terhadap penegakan hukum. Sudah tidak lagi bicara tentang reformasi, sudah nggak zaman, sekarang ini adalah era di mana kita transformasi atau bertransformasi,” kata Bob.

Lebih lanjut Bob menyarankan, agar masyarakat dapat melihat nilai-nilai dari perubahan UU Polri saat ini.

“Sekarang perubahan revisi UU Polri ketiga. Maka di era transformasi ini kita sudah harus melihat secara objektif perubahan-perubahan ini,” tuturnya.