Pemerintah Pastikan Tidak Ada Penurunan Ambang Batas Pajak UMKM

Oleh : Mika Putri Larasati )*

Pemerintah memastikan bahwa tidak ada rencana untuk menurunkan ambang batas pajak untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang menegaskan bahwa batas ambang pajak bagi UMKM tetap berada pada angka Rp4,8 miliar. Dengan demikian, semua kabar yang beredar di media sosial terkait penurunan ambang batas pajak untuk UMKM tidak dapat dibenarkan.

Pemerintah, melalui Airlangga, mengungkapkan bahwa setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap kebijakan ambang batas pajak UMKM. Namun, tidak ada rencana untuk melakukan perubahan atau penurunan batas ambang tersebut, meskipun sebelumnya ada rekomendasi dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk menurunkan batasnya menjadi Rp3,6 miliar. Rekomendasi tersebut tidak serta merta diikuti, dan pemerintah tetap mempertahankan batas Rp4,8 miliar untuk tahun mendatang.

Sementara itu, Sekretaris Menko Perekonomian (Sesmenko), Susiwjono Moegiarso, mengonfirmasi bahwa meski ada pembicaraan mengenai penyesuaian ambang batas, pemerintah tetap mempertahankan angka Rp4,8 miliar.

Hal tersebut bertujuan untuk memberikan insentif bagi UMKM yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun, dengan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% dan bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Insentif tersebut diperkirakan akan mencapai Rp61,2 triliun pada tahun depan, sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendukung sektor UMKM dalam menjaga daya saing dan memperluas basis pajak di Indonesia.

Dalam konteks itu, Sesmenko juga menambahkan bahwa penyesuaian ambang batas pajak UMKM seharusnya mempertimbangkan kondisi di negara-negara tetangga. Misalnya, Thailand dan Filipina menerapkan ambang batas PKP (Pengusaha Kena Pajak) senilai sekitar Rp800 juta per tahun.

Namun, Indonesia tetap memilih untuk mempertahankan batas ambang yang lebih tinggi, yakni Rp4,8 miliar, untuk memberikan keleluasaan bagi lebih banyak pelaku UMKM dalam menikmati fasilitas pajak yang lebih ringan.

Dengan demikian, meskipun ada wacana untuk menurunkan ambang batas, pemerintah berkomitmen untuk tidak mengurangi akses UMKM terhadap fasilitas PPh Final 0,5% yang telah terbukti mendukung perkembangan sektor ini.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun ada kabar yang beredar bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan penurunan ambang batas pajak untuk UMKM, hal tersebut tidaklah benar. Beberapa pihak di media sosial mencoba menyebarkan informasi yang tidak akurat mengenai hal ini, yang bisa menimbulkan kebingungannya pelaku usaha.

Namun, pemerintah secara tegas menyatakan bahwa kebijakan terkait ambang batas pajak tetap pada angka Rp4,8 miliar. Dengan demikian, para pelaku UMKM bisa merasa lebih tenang dan dapat terus mengembangkan usaha mereka tanpa harus khawatir dengan perubahan kebijakan yang tidak jelas.

Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, juga menegaskan bahwa kebijakan baru terkait pajak, terutama dengan kenaikan PPN menjadi 12%, tidak akan berdampak signifikan pada pelaku UMKM.

Kenaikan PPN hanya akan memengaruhi barang-barang yang termasuk dalam kategori barang mewah dan konsumsi kelas menengah ke atas, seperti daging premium atau fasilitas hotel mewah. Oleh karena itu, sektor UMKM yang mayoritas beroperasi di tingkat mikro dan kecil tidak akan terpengaruh oleh perubahan PPN ini.

Maman juga memastikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan berbagai insentif bagi pelaku UMKM, termasuk pengurangan pajak penghasilan (PPh) menjadi 0,5% bagi UMKM dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.

Kebijakan tersebut akan terus berlaku selama tujuh tahun ke depan, memberikan kesempatan bagi UMKM untuk berkembang tanpa terbebani oleh pajak yang tinggi. Bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun, pemerintah sama sekali tidak membebankan pajak PPh 0,5%, sehingga sektor UMKM tetap bisa menikmati kemudahan dan insentif yang ada.

Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendukung UMKM, fasilitas PPh Final 0,5% yang diberikan kepada UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar merupakan langkah yang strategis dalam memperkuat daya saing pelaku usaha kecil dan menengah.

Dengan adanya insentif tersebut, pelaku UMKM bisa lebih fokus dalam mengembangkan usaha mereka tanpa terbebani oleh pajak yang tinggi. Pemerintah juga memastikan bahwa UMKM yang lebih kecil, dengan omzet di bawah Rp500 juta, tetap mendapatkan kemudahan dengan bebas dari kewajiban pajak PPh.

Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah terkait pajak UMKM menunjukkan komitmen untuk mendukung sektor ini, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Pemerintah telah mengalokasikan berbagai bentuk insentif untuk mendorong perkembangan UMKM, termasuk perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% dan pembebasan PPN bagi banyak produk UMKM.

Oleh karena itu, meskipun beredar kabar mengenai penurunan ambang batas pajak, masyarakat harus bijak dalam menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh rumor yang belum tentu benar.

Ke depan, pemerintah terus berupaya menjaga ekosistem UMKM agar tetap berkembang, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan evaluasi yang ada. Penurunan ambang batas pajak yang sempat menjadi isu hangat tidak akan dilanjutkan, dan sektor UMKM akan tetap mendapatkan dukungan dari berbagai insentif yang telah dirancang.

Sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan berperan penting dalam perekonomian Indonesia, UMKM akan terus menjadi prioritas dalam kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Pemerintah menyadari bahwa perkembangan UMKM sangat penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. Oleh karena itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk mempertahankan kebijakan pajak yang mendukung pertumbuhan UMKM, yang pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara

Pemerintah Pastikan Threshold PPh Final UMKM Tetap Berlaku Tanpa Penurunan

Jakarta – Pemerintah menegaskan bahwa ambang batas (threshold) omzet bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mendapatkan fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen tetap sebesar Rp4,8 miliar per tahun.

Hal ini dipastikan oleh berbagai pejabat pemerintah sebagai bentuk komitmen untuk terus memberikan dukungan kepada sektor UMKM di tengah tantangan ekonomi global.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada rencana untuk menurunkan threshold tersebut menjadi Rp3,6 miliar per tahun, seperti isu yang sempat berkembang.

“Threshold tetap Rp4,8 (miliar). Rp3,6 (miliar) siapa yang bahas?” ujar Airlangga saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.

Ia juga menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut terkait rencana perubahan threshold tersebut.

Namun, ia mengakui evaluasi terhadap kebijakan perpajakan, termasuk terkait ambang batas omzet UMKM, tetap dilakukan secara berkala.

“Rp4,8 (miliar). Ya kalau evaluasi kan pasti ada. Tapi sekarang nggak ada (rencana penurunan),” tegasnya.

Senada dengan Airlangga, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menuturkan bahwa pemerintah fokus pada pemberian berbagai stimulus ekonomi, termasuk memperpanjang masa berlaku PPh Final sebesar 0,5 persen hingga 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

“Tidak ada rencana untuk menurunkan batasan omzet UMKM (threshold) dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. Pemerintah fokus ke pemberian berbagai stimulus, termasuk stimulus UMKM, dengan menyelesaikan perubahan PP dan PMK terkait,” jelas Febrio dalam keterangannya.

Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian, Susiwijono, juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, pemerintah saat ini hanya fokus pada pemberian berbagai insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendukung keberlangsungan usaha UMKM.

“Pemerintah betul-betul fokus terhadap upaya memberikan berbagai stimulus ekonomi, termasuk khususnya untuk UMKM. Kami bersama Kemenkeu dan K/L lain terkait saat ini fokus menindaklanjuti dalam penyiapan perubahan PP, PMK, dan Permen lainnya,” jelasnya.

Ia memastikan bahwa perubahan PP Nomor 55 Tahun 2022 hanya berfokus pada perpanjangan PPh Final 0,5 persen hingga 2025 dan tidak mencakup perubahan ambang batas omzet.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap UMKM dapat terus menjadi tulang punggung perekonomian nasional, sekaligus menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global. []

Bussines Matching Jadi Salah Satu Kunci Penguatan UMKM Era Prabowo-Gibran

Jakarta – Dalam upaya mempercepat peningkatan ekonomi nasional, Business Matching terbukti menjadi salah satu kunci penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Melalui kegiatan ini, UMKM diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari perusahaan besar, investor, hingga lembaga keuangan. Hal ini membuka peluang baru bagi UMKM untuk berkembang lebih pesat di pasar lokal maupun global.
Wakil Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Wamen UMKM), Helvi Moraza, mengatakan business matching dapat menjadi katalisator penting dalam mendorong sinergi lintas sektor untuk penguatan UMKM.
“Melalui sinergi ini, kita dapat mempercepat pertumbuhan UMKM sekaligus memastikan mereka siap bersaing di pasar internasional,” kata Helvi.
UMKM selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Kontribusinya terhadap PDB sebesar 60,5 persen dengan serapan tenaga kerja hingga 96,9 persen. Namun, partisipasi UMKM masih rendah dalam Rantai Pasok Global.
“UMKM kita belum cukup kompetitif untuk menembus pasar global. Di sisi lain, mayoritas UMKM juga masih belum terhubung ke rantai pasok industri,” lanjut Helvi.
Sementara untuk mendorong UMKM meluaskan pasar ke luar negeri, Kementerian UMKM berkolaborasi dengan Kementerian Perdagangan merancang program UMKM Bisa Ekspor. Menurut Helvi, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk membuka peluang yang lebih luas, termasuk akses pasar, pendampingan, pelatihan, dan adopsi teknologi.
“Kementerian UMKM juga terus berupaya membantu UMKM naik kelas dengan program Inabuyer untuk menghubungkan UMKM dengan korporasi besar dan BUMN, serta program kampus UMKM guna mendorong UMKM untuk go digital, go export, dan go standard,” ucap Helvi.
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, menyampaikan Kemendag memastikan mulai Januari 2025 akan ada business matching bagi UMKM. Kegiatan yang rencananya akan dilakukan rutin ini nantinya mempertemukan pelaku UMKM dengan calon mitra atau pembeli untuk bekerja sama, sehingga terjadi kegiatan ekspor produk UMKM.
“Kita sesuaikan, misalnya UMKM binaan bank tertentu kapan bisa business matching untuk produk tertentu ke India (contohnya). Nah, nanti Atase Perdagangan (Atdag) dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) kita yang di India akan mendengarkan presentasi produk UMKM. Kemudian Atdag dan ITPC akan mencarikan buyer,” ungkap Budi.
Budi menilai, kegiatan business matching tersebut harus rutin dilakukan, setidaknya dua kali oleh masing-masing perwakilan Atdag dan ITPC. Sehingga diharapkan ekspor produk UMKM bisa meningkat, begitu juga kinerja Atdag dan ITPC bisa optimal dalam mempromosikan produk UMKM Indonesia.
“Paling tidak, satu perwakilan (atdag atau ITPC) dua kali. Jangan terlalu banyak business matching, nanti tidak bisa kerja,” kata Budi.
Melalui kolaborasi yang terjalin dalam business matching, UMKM memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai potensi maksimal mereka. Ini merupakan langkah konkret dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih kuat dan dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat Indonesia. [*]

Penyesuaian PPN, Langkah Cerdas Tarik Investasi dan Jaga Ekonomi Indonesia

Kebijakan Penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terus menjadi perbincangan hangat. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi tren penurunan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan sekaligus memperkuat daya saing ekonomi nasional.

 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menilai bahwa kenaikan PPN merupakan upaya tepat untuk memperkuat penerimaan negara di tengah dinamika ekonomi global. “Kebijakan ini tidak hanya mendorong penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan kepercayaan investor asing terhadap stabilitas fiskal Indonesia,” ujar Prianto. Menurutnya, dengan kejelasan arah kebijakan fiskal, Indonesia akan lebih mampu menarik investasi yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Namun, untuk memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan efek negatif, langkah pendukung sangat diperlukan. Pengamat ekonomi dari Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, mengingatkan pentingnya strategi mitigasi inflasi. “Kenaikan PPN 1 persen memang diperlukan, tetapi harus ada kebijakan pengendalian harga agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Subsidi tertentu untuk komoditas penting dapat menjadi opsi,” ungkap Gunawan.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dilakukan secara selektif. Ia menjelaskan bahwa tarif baru ini hanya akan diterapkan pada barang-barang tertentu, terutama barang-barang mewah. “Untuk barang kebutuhan pokok dan layanan yang menyentuh langsung masyarakat, tetap dikenakan tarif PPN 11 persen,” katanya. Pendekatan ini dirancang untuk memastikan tidak ada tekanan berlebihan terhadap masyarakat luas.

Kebijakan kenaikan PPN ini memperlihatkan upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan fiskal tanpa mengabaikan kebutuhan rakyat. Dengan pelaksanaan yang terencana dan dukungan kebijakan pendamping, Penyesuaian PPN diharapkan menjadi solusi efektif untuk memperkuat ekonomi nasional, menarik lebih banyak investasi, dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan global. Langkah ini membuktikan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga memastikan kesejahteraan masyarakat tetap menjadi prioritas utama {}.

Penyesuaian Tarif PPN Merupakan Bentuk Keberpihakan kepada Masyarakat

Jakarta – Pemerintah berencana menaikan PPN sebesar 1% pada 2025. Kenaikan itu berdasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan naik 1% dari sebelumnya 11% menjadi 12% pada awal 2025.

 

Penyesuaian PPN ini dinilai mampu menghadirkan manfaat bagi masyarakat. Pasalnya, hasil dari penyesuaian tersebut bakal dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk pembangunan hingga pemberdayaan masyarakat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa tarif PPN Indonesia yang saat ini sebesar 11 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun anggota G20.

“PPN di Indonesia dinilai masih relatif rendah dibandingkan banyak negara di dunia. Kalau kita lihat baik di dalam negara-negara yang sama emerging atau dengan negara di region, maupun dalam G20,” kata Sri Mulyani di Jakarta.

Ditambahkannya bahwa penyesuaian Tarif PPN 1% hanya menyasar barang dan jasa Premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (wagyu, daging kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan crustacea premium (seperti king crab).

“Misalnya makanan yang dikonsumsi oleh kelompok yang paling kaya, yaitu desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya. Umpamanya seperti daging sapi yang premium, wagyu-kobe yang harganya bisa di atas Rp2-Rp3 juta per kilogram. Sementara daging yang dinikmati masyarakat berkisar antara Rp150.000-Rp200.000/kilogram tidak dikenakan PPN,” imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum.

“Untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelompok bawah, pemerintah mempertahankan tarif PPN 11 persen untuk tiga komoditas pokok penting, yakni minyakita, tepung terigu, dan gula industri,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti mengatakan penyesuaian tarif PPN menjadi 12% dalam rangka mewujudkan keadilan serta gotong royong. Pajak yang dibayarkan masyarakat pada dasarnya untuk mensejahterakan masyarakat melalui program-program pemerintah.

“Hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk. Seperti BLT, Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan KIP Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk,” jelas Dwi.

Ditambahkannya bahwa tidak semua barang dan jasa terkena PPN. Barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran dikecualikan dari objek pajak ini.

“Perlu kami sampaikan bahwa prinsip utama penyesuaian tarif PPN dalam rangka mewujudkan keadilan berupa keberpihakan kepada masyarakat, serta gotong royong seluruh elemen bangsa,” tutup Dwi. [*]

Kenaikan PPN Menguntungkan Semua Lapisan Masyarakat

Jakarta,– Pemerintah telah mengumumkan rencana implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini diambil sebagai bagian dari amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur bahwa tarif PPN 12 persen harus diterapkan paling lambat pada awal tahun mendatang.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menanggung kenaikan PPN terhadap tiga komoditas pokok, yakni tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat (MinyaKita). Pemerintah akan memberikan subsidi sebesar 1 persen pada komoditas-komoditas tersebut demi menjaga daya beli masyarakat, terutama golongan berpenghasilan rendah.

“Kenaikan tarif PPN ini tidak dilakukan secara sembarangan. Kami memastikan bahwa kebijakan ini disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan perlindungan terhadap sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok masyarakat,” tegas Sri Mulyani.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN bukanlah sepenuhnya keinginan pemerintah, melainkan kewajiban yang diatur dalam UU HPP. Pemerintah juga telah menyiapkan berbagai stimulus ekonomi untuk mendukung implementasi kebijakan ini. Stimulus tersebut mencakup enam aspek strategis: rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, kendaraan listrik, serta properti.

“Kami memastikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah tetap terlindungi. Selain itu, pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena PPN 12 persen sebesar 1 persen,” ujar Airlangga.

Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menambahkan bahwa kenaikan PPN ini justru memberikan manfaat signifikan bagi sektor UMKM. Dari total Rp265 triliun insentif yang disiapkan terkait kebijakan ini, sekitar 90 persen akan dinikmati oleh pelaku UMKM. Hal ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput.

Pemerintah juga akan mengintensifkan sosialisasi kepada masyarakat agar memahami alasan dan manfaat dari kenaikan PPN ini. Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah optimis bahwa kebijakan ini dapat mendukung stabilitas ekonomi tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan kenaikan PPN ini dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat ketahanan fiskal negara sekaligus mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Kabar Baik! Kenaikan PPN 1 Persen Berikan Manfaat untuk Rakyat dan Ekonomi Negara

Jakarta – Pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen, yaitu sebesar 1 persen untuk masyarakat, serta berdampak positif bagi ekonomi negara.

 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pemerintah akan menanggung kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen untuk tiga komoditas saat PPN 12 persen diimplementasikan pada 1 Januari 2025. Ketiga komoditas itu yakni tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

“Kami memutuskan untuk barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan MinyaKita itu PPN-nya tetap 11 persen. Artinya, dari kenaikan menjadi 12 persen, 1 persennya Pemerintah yang membayar,” jelas Sri Mulyani.

Ketiga komoditas itu dinilai sangat diperlukan oleh masyarakat umum, sehingga Pemerintah memutuskan untuk menerapkan PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas kenaikan tarif PPN yang bakal berlaku. Sri Mulyani menyatakan keputusan itu merupakan komitmen pemerintah dalam menyiapkan instrumen fiskal yang berpihak kepada masyarakat.

“Kami memahami pandangan berbagai pihak. Kami juga melihat data konsumsi rumah tetangga yang tetap terjaga stabil. Kemudian inflasi yang mengalami penurunan bahkan relatif rendah di 1,5 (persen),” jelasnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena PPN 12 persen, yaitu sebesar 1 persen yang dirancang untuk memberikan keringanan langsung kepada kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori berpenghasilan rendah.

“Bahan makanan lain dengan penerapan PPN 12 persen tersebut, pemerintah memberikan stimulus ataupun paket kebijakan ekonomi bagi rumah tangga berpendapatan rendah, PPN-nya ditanggung pemerintah 1 persen,” ujar Airlangga.

Selain itu, Airlangga menyebutkan beberapa bahan pokok makanan lain yang pajaknya juga akan ditanggung oleh pemerintah, hal ini seperti tepung terigu hingga gula industri untuk pajaknya akan dibayarkan oleh pemerintah, yaitu sebesar 1 persen.

“Kemudian tepung terigu dan gula industri, jadi masing-masing tetap di 11 persen, yang 1 persen ditanggung pemerintah,” ucap Airlangga.

Menurut Airlangga, adanya bantuan stimulus ini untuk menjaga daya beli masyarakat yang sangat banyak membutuhkan bahan pokok tersebut. Airlangga juga mengatakan bahan ini juga untuk membantu industri makanan dan minuman yang memiliki peran besar bagi perekonomian Indonesia.

Stimulus Lewat PPN Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Rakyat Dengan Asas Keadilan dan Gotong Royong

JAKARTA — Pemerintah Indonesia memperkuat stimulus ekonomi dengan menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, efektif mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan memperluas pembiayaan subsidi dan bantuan sosial, mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat dengan asas keadilan serta semangat gotong royong.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah terus berupaya menjaga daya beli dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai kebijakan, termasuk perpajakan.

Menurutnya, pajak adalah instrumen penting pembangunan berprinsip keadilan dan gotong royong. Prinsip ini mendasari penerapan PPN 12% yang selektif.

“Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan,” kata Sri Mulyani.

“Di sinilah prinsip negara hadir,” tambahnya.

Stimulus ini berpihak pada masyarakat dengan membebaskan PPN (PPN 0%) untuk kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan angkutan umum. Pemerintah menanggung kenaikan PPN 1% untuk barang seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita.

Pemerintah juga mengalokasikan stimulus berupa bantuan perlindungan sosial dan insentif perpajakan senilai Rp265,6 triliun untuk 2025.

“Insentif perpajakan 2025, mayoritas dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan,” ungkap Sri Mulyani.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa kebijakan penyesuaian PPN 1% merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Ini adalah mandat dari undang-undang, bukan keinginan pemerintah,” kata Airlangga dalam pernyataannya.

Lebih lanjut, Airlangga memastikan bahwa pemerintah tetap memikirkan kebutuhan masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. “Pemerintah akan menanggung PPN sebesar 1 persen untuk bahan pangan tertentu bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” tambahnya.

Senada dengan Airlangga, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menyatakan bahwa kebijakan ini telah melalui proses pembahasan yang mendalam bersama DPR. “Penyesuaian tarif PPN ini mempertimbangkan berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, dan fiskal, sehingga kebijakan ini benar-benar komprehensif,” ujar Deni.

Kenaikan PPN ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara tanpa mengabaikan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang rentan. Pemerintah juga terus mengedepankan prinsip keadilan dalam implementasi kebijakan fiskal.

Kenaikan Pajak Barang Mewah Sebagai Langkah Penguatan Ekonomi Negara

Jakarta, – Pemerintah Indonesia memberikan penegasan terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Meski terdapat sejumlah kekhawatiran, pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan demi kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan keberlanjutan fiskal negara.

 

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bukanlah kehendak pemerintah, melainkan merupakan amanah yang diatur dalam UU HPP. “Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025,” jelas Airlangga. Dengan demikian, kebijakan ini bukan sebuah keputusan sepihak, tetapi merupakan bagian dari ketentuan hukum yang harus dipatuhi.

Airlangga menambahkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menanggung kebutuhan bahan pangan yang terkena PPN 12 persen, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena PPN 12 persen, yaitu sebesar 1 persen untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah,” ujarnya. Langkah ini diambil guna memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak membebani kelompok masyarakat yang lebih rentan.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menyatakan bahwa kebijakan penyesuaian tarif PPN ini telah melalui pembahasan yang sangat mendalam antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Kebijakan penyesuaian tarif PPN 1 persen tersebut telah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dan DPR, dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain ekonomi, sosial, dan fiskal,” kata Deni. Proses yang matang ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak hanya berdasarkan pertimbangan teknis, tetapi juga memperhatikan keseimbangan sosial dan dampaknya terhadap perekonomian.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif. “PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah yang menjadi selektif. Untuk barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh masyarakat masih tetap akan diberlakukan pajak 11%,” ungkapnya. Hal ini menjelaskan bahwa barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tidak akan terkena dampak signifikan dari kenaikan tarif ini.

Dukungan terhadap kebijakan kenaikan PPN ini diharapkan dapat memperkuat perekonomian negara dengan cara meningkatkan pendapatan fiskal yang pada gilirannya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan pelayanan publik. Melalui kebijakan ini, pemerintah juga menunjukkan keseriusannya dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang lebih rentan.

Dengan langkah ini, Indonesia berharap dapat memperkokoh fondasi perekonomian yang lebih stabil, inklusif, dan berkelanjutan.

Masyarakat Tak Perlu Khawatir, PPN 1 Persen Hanya Untuk Barang Mewah

Jakarta – Menko perekonomian menyakinkan kepada masyarakat bahwa kenaikan PPN 1 persen hanya untuk barang mewah. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan barang yang terkena kenaikan PPN, hanya barang-barang tertentu, karena penyesuaian PPN ini hanya untuk barang mewah.

 

Airlangga lebih lanjut menyampaikan bahwa
kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tersebut tidak berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum.

“Kenaikan tarif PPN 12 persen tidak berlaku bagi Kebutuhan pokok yang menyangkut hajat masyarakat luas” demikian disampaikan.

Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan berbeda menyampaikan bahwa penyesuaian Tarif PPN 1% hanya menyasar barang dan jasa Premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (wagyu, daging kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan crustacea premium (seperti king crab).

“Misalnya makanan yang dikonsumsi oleh kelompok yang paling kaya, yaitu desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya. Umpamanya seperti daging sapi yang premium, wagyu-kobe yang harganya bisa di atas Rp2-Rp3 juta per kilogram. Sementara daging yang dinikmati masyarakat secara umum berkisar antara Rp150.000-Rp200.000 per kilogram dia tidak dikenakan PPN” katanya.

“Jasa pendidikan premium yang dalam hal ini pembayaran uang sekolahnya bisa mencapai ratusan juta, jasa kesehatan yang premium dan untuk pelanggan listrik 3500-6600 VA dikenakan PPN (12 persen),” katanya .