PPN Naik, Inflasi Aman: Bukti Kebijakan Ekonomi Berjalan Tepat

Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, dari 11 persen menjadi 12 persen, sebagai bagian dari upaya memperkuat penerimaan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Kebijakan ini dianggap tidak berdampak signifikan terhadap inflasi, namun memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.

 

Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan, DR. IR. H. Adies Kadir, menegaskan bahwa keputusan menaikkan tarif PPN ini merupakan amanah undang-undang dan langkah strategis pemerintah untuk mendorong pemerataan ekonomi. “Kebijakan ini baik untuk rakyat Indonesia sebagai langkah strategis pada program pemerataan ekonomi dan peningkatan penerimaan negara. Kenaikan ini juga bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan penguatan ekonomi nasional seperti cita-cita Pak Presiden (Prabowo Subianto),” ujar Adies Kadir.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kebijakan ini secara langsung menyasar kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi, terutama konsumen barang mewah. “Kelompok konsumen barang mewah, yang sebagian besar berasal dari kalangan atas, memiliki daya beli yang sangat tinggi. Dengan demikian, mereka yang paling mampu berkontribusi lebih besar terhadap negara,” imbuhnya. Langkah ini dinilai mampu menciptakan keadilan pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.

Senada dengan Adies Kadir, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, juga memberikan apresiasi terhadap kebijakan kenaikan PPN ini. Ia menilai bahwa langkah tersebut dapat memperkuat sistem perpajakan yang berkeadilan serta mendukung kemandirian bangsa. “Kebijakan kenaikan PPN merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem perpajakan yang berkeadilan dan mendukung kemandirian bangsa. Melalui pendekatan yang transparan dan komunikasi intensif, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan iklim usaha yang lebih adil,” jelas Vaudy.

Menurut Vaudy, kenaikan tarif PPN tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ia menggarisbawahi pentingnya transparansi dalam implementasi kebijakan ini untuk memastikan penerimaan negara dapat dialokasikan secara efektif. “Dengan komunikasi yang baik, masyarakat akan memahami bahwa pajak yang mereka bayarkan akan kembali kepada mereka dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan yang lebih baik,” tambahnya.

Sejumlah pengamat ekonomi juga mengungkapkan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap inflasi, mengingat tarif tersebut masih tergolong moderat dibandingkan negara-negara lain. Sebaliknya, kebijakan ini justru akan menjadi salah satu motor penggerak dalam mendukung agenda pembangunan jangka panjang pemerintah.

Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menjadi salah satu solusi untuk menutup defisit anggaran sekaligus mendukung pembiayaan berbagai program prioritas nasional. Dengan dukungan seluruh elemen masyarakat, kenaikan PPN ini diyakini mampu membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Kenaikan PPN 1 persen bukan sekadar langkah teknis, melainkan bagian dari visi besar untuk menciptakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Dengan kontribusi lebih besar dari kalangan yang mampu, pembangunan nasional dapat berjalan lebih merata, memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. [-red]

Dibarengi Paket Stimulus Ekonomi, Kenaikan PPN 1% Perkuat Pendapatan Negara

Jakarta – Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% yang akan diberlakukan mulai 2025. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat pendapatan negara dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan mendukung pembangunan infrastruktur.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keputusan ini sudah dipertimbangkan “demi APBN” dan “bukan membabi buta”. Menurutnya, PPN di Indonesia masih relatif lebih rendah dibanding negara-negara lain.

“Tarif PPN di Indonesia dibandingkan banyak negara di dunia masih relatif rendah, kalau kita lihat baik di dalam negara-negara yang sesama emerging (berkembang) atau dengan negara-negara di kawasan maupun dalam G20,” kata Sri Mulyani.

Mantan Direktur Bank Dunia itu mengatakan pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan PPN. Belajar dari kenaikan PPN 10% menjadi 11%, ia menuturkan, saat itu perekonomian RI relatif stabil dan bahkan ada indikasi membaik di beberapa aspek. Setelah PPN 11% diterapkan, pemerintah meluncurkan berbagai stimulus untuk masyarakat.

“Pada saat 2023 itu harga komoditas juga sudah mulai turun, seperti yang kita rasakan sampai 2024 ini. Kami melihat jumlah dari peningkatan pekerja, pekerja formal, dan juga setoran PPh (pajak penghasilan) 21 itu mengalami kenaikan double digit, serta inflasi yang terus terjaga rendah,” ujar Menteri Keuangan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% bukanlah keinginan pemerintah. Menurutnya, Pemerintah hanya mengikuti amanah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

“Pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen, yaitu sebesar 1% untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah,” ungkapnya.

Disisi lain, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan menuturkan bahwa risiko kenaikan inflasi telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50% pada Januari-Februari 2025.

“Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun,” pungkas Ferry.

Untuk diketahui, bersamaan dengan kenaikan tarif PPN sebesar 1%, Pemerintah telah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti. Paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

Penyesuaian PPN Hanya untuk Barang dan Jasa Mewah; Pemerintah Perkuat Sistem Perpajakan yang Adil

JAKARTA – Pemerintah memastikan bahwa penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, hanya akan diterapkan pada barang dan jasa mewah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan, kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, vaksin polio, rumah sederhana, hingga air minum tetap bebas dari pengenaan tarif PPN.

 

“Kenaikan tarif PPN 1 persen tersebut tidak berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum,” ujar Airlangga.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini hanya menyasar barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Penyesuaian Tarif PPN 1% hanya menyasar barang dan jasa premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (wagyu, daging kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan crustacea premium (seperti king crab),” ujar Sri Mulyani.

Ia juga menambahkan, “Misalnya makanan yang dikonsumsi oleh kelompok yang paling kaya, yaitu desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya. Umpamanya seperti daging sapi yang premium, wagyu-kobe yang harganya bisa di atas Rp2-Rp3 juta per kilogram. Sementara daging yang dinikmati masyarakat secara umum berkisar antara Rp150.000-Rp200.000 per kilogram dia tidak dikenakan PPN,” lanjut Sri Mulyani

Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyambut baik langkah pemerintah yang dinilai strategis untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil.

“Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem perpajakan yang berkeadilan dan mendukung kemandirian bangsa,” ujar Vaudy.

Ia juga menambahkan, “Melalui pendekatan yang transparan dan komunikasi intensif, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan iklim usaha yang lebih adil, meningkatkan penerimaan negara, serta mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.”

Dari sektor energi, Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo memastikan bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk pelanggan rumah tangga dengan daya di atas 6.600 VA, yang mencakup sekitar 400 ribu pelanggan dari kelompok terkaya. “PPN 12% untuk tarif listrik dikenakan hanya pada 400 ribu pelanggan rumah tangga dengan daya di atas 6.600 VA atau pelanggan terkaya dari desil yang ada dalam struktur pelanggan kami. Sementara pelanggan dengan daya 450-2.200 VA mendapat diskon listrik 50%,” ungkap Darmawan.

Dengan kebijakan yang difokuskan pada kelompok masyarakat kelas atas, pemerintah optimis penerapan tarif PPN yang baru akan mendukung pembangunan tanpa membebani kebutuhan pokok masyarakat umum. Langkah ini diharapkan mampu memperkuat kemandirian ekonomi nasional secara berkelanjutan. [*]

Stimulus Ekonomi Solusi Pemerintah Jaga Daya Beli Masyarakat

Jakarta – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (Ditejen Pajak), Dwi Astuti mengatakan , hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk.

 

“Di antaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Juga subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk,” tutur Dwi.

Langkah strategis telah ditempuh pemerintah untuk melindungi stabilitas ekonomi dan mempertahankan kemampuan belanja masyarakat dari kelompok menengah sampai bawah. Serangkaian program stimulus ekonomi yang diimplementasikan bertujuan menjamin kestabilan perekonomian di tingkat daerah dan nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi melalui beragam stimulus guna menjaga daya beli masyarakat, khususnya sektor rumah tangga yang berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional

“Hingga akhir tahun 2024 ini pertumbuhan ekonomi masih terjaga rata-rata 5%. Konsumsi rumah tangga ini menyumbang lebih dari 50% ekonomi Indonesia dan tumbuh kuat, dan diharapkan tumbuh di atas 5%,” jelas Airlangga.

Disisi lain, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat berpendapatan menengah ke bawah melalui insentif.

“Kami mendesain paket stimulus kebijakan ekonomi ini mempertimbangkan secara seimbang, sisi permintaan terutama kelompok menengah ke bawah yang tetap dimaksimalkan untuk dilindungi perlindungannya dan bahkan bantuannya,” ungkap Menteri Keuangan Mulyani Indrawati.

Paket stimulus ekonomi oleh pemrintah kepada Masyarakat antara lain, bantuan pangan/beras untuk dua bulan Januari-Februari 2025 bagi 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) dengan mendapatkan 10 kg per bulan, pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 1% untuk tepung terigu, gula industri, dan minyak subsidi (Minyakita) , kemudahan akses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang mengalami PHK, perpanjangan masa berlakunya Pajak penghasilan (PPh) final 0,5%.

“Untuk sektor perumahan diberikan PPN DTP pembelian rumah karena ini adalah sektor yang selain memenuhi kebutuhan masyarakat hajat hidup orang banyak juga memiliki multiplier dan penciptaan kesempatan kerja yang besar,” kata Sri Mulyani.

Sementara itu, PT PLN (Persero) mendukung penuh langkah Pemerintah dalam menyalurkan paket stimulus ekonomi bagi 81,4 juta pelanggan atau 97 persen dari total 84 juta pelanggan golongan rumah tangga.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyatakan bahwa PLN mendukung penuh kebijakan tersebut dan memastikan mekanisme penyaluran diskon listrik berjalan tepat sasaran dan tanpa melalui proses registrasi.

“Untuk pelanggan pascabayar, nominal tagihan bulanan akan secara otomatis dikurangi 50% pada saat bayar listrik. Sedangkan untuk pelanggan prabayar, potongan 50% akan langsung didapatkan saat pelanggan membeli token listrik di manapun, baik itu di PLN Mobile, di ritel-ritel, di agen, dan di manapun,” jabar Darmawan.

Pemerintah berupaya optimal untuk mencegah terjadinya guncangan ekonomi dan pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah hingga bawah. Berbagai kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah diharapkan bisa menjaga stablitas ekonomi baik lokal maupun nasional. [-rwa]

Menko Perekonomian Airlangga: Kenaikan PPN 1 Persen, Pemerintah Hanya Ikuti Amanah Undang – Undang

Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan Pemerintah hanya ikuti amanah undang – undang terkait kenaikan PPN 1 persen. Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen bukanlah keinginan pemerintah.

 

“Pemerintah hanya mengikuti amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025,” ujar Menko Perekonomian Airlangga saat di temui media di Jakarta.

Airlangga mengatakan, untuk mengantisipasi kenaikan tarif PPN, pemerintah telah mengeluarkan sederet paket insentif untuk tahun depan sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.

Dua di antaranya berupa bantuan pangan dan diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama Januari-Februari 2025. Bantuan pangan diberikan untuk 16 juta keluarga, di mana masing-masing keluarga mendapatkan beras 10 kilogram per bulan.Anggaran yang dibutuhkan untuk insentif ini sekitar Rp 4,6 triliun.

Selain itu, pemerintah akan menanggung kebutuhan bahan pangan lain yang terkena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen, yaitu sebesar 1 persen untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan menanggung kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen untuk tiga komoditas saat PPN 12 persen diimplementasikan pada 1 Januari 2025. Ketiga komoditas itu yakni tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

Disisi lain, keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan diikuti dengan sosialisasi dan penjelasan lebih banyak kepada masyarakat.Hal tersebut diperlukan sebagai penegasan bahwa pemerintah tidak sembarangan dalam menyusun dan menerapkan kebijakan terkait perpajakan, pungkas Menkeu Sri Mulyani.

Kebijakan mengenai perpajakan termasuk PPN ini, bukan berarti membabi buta dan seolah tidak punya perhatian terhadap beberapa sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan bahkan makanan pokok, jelasnya.

Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti. Paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak, tutupnya.

Kebijakan PPN Berkeadilan: Pemerintah Siapkan Paket Stimulus Ekonomi Fokus pada Kebutuhan Rakyat

JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui kebijakan fiskal yang terencana memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% tidak membebani masyarakat kecil. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa barang dan jasa kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN.

 

“Kenaikan tarif PPN 1 persen tersebut tidak berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum,” ujarnya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menambahkan bahwa kenaikan PPN dilakukan secara bertahap menuju tarif 12% dengan pendekatan gotong royong.

“Kenaikan Tarif PPN sebesar 1 persen diimbangi dengan memastikan kontribusi yang proporsional dari berbagai kelompok masyarakat, sementara kebutuhan pokok tetap bebas PPN untuk melindungi masyarakat rentan. Pemerintah juga menanggung beban kenaikan PPN pada barang tertentu seperti tepung terigu, gula, dan minyak goreng untuk menjaga stabilitas harga ” tegas Sri Mulyani

Selain itu, berbagai insentif dirancang untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan pengembangan UMKM. Rumah tangga berpenghasilan rendah akan mendapatkan bantuan langsung berupa beras 10 kg per bulan selama dua bulan awal tahun 2025, serta diskon listrik sebesar 50% untuk pelanggan daya 2200 VA ke bawah.

“Pemerintah memberikan dukungan langsung kepada masyarakat untuk memastikan daya beli tetap terjaga, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi,” jelas Sri Mulyani.

Di sisi UMKM, pemerintah memperpanjang insentif PPh final 0,5% hingga 2025, bahkan menghapus PPh untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Dukungan bagi sektor tenaga kerja juga diperkuat melalui berbagai stimulus, seperti subsidi jaminan kecelakaan kerja dan insentif pajak penghasilan untuk pekerja dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan.

“Pemerintah berkomitmen memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dan mendukung produktivitas industri padat karya melalui berbagai program insentif,” tambah Sri Mulyani.

Melalui kebijakan ini, pemerintah tidak hanya mengelola dampak kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat pondasi ekonomi untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini mencerminkan asas keadilan dan gotong royong, serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dengan alokasi insentif senilai Rp445,5 triliun pada 2025, fokus diarahkan pada kesejahteraan masyarakat rentan dan penguatan daya saing nasional,” tegas Airlangga.

Agenda reformasi fiskal ini diyakini mampu menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan daya beli, dan mendukung pemulihan pasca-pandemi. Kebijakan ini diharapkan menjadi momentum penting untuk memperkuat perekonomian nasional dan menciptakan keadilan sosial yang merata.{*}

Pemerintah Terapkan Kenaikan PPN 1% dengan Asas Keadilan dan Gotong Royong

Jakarta – Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% mulai tahun 2025. Kebijakan ini didasarkan pada asas keadilan dan gotong royong, serta memperhatikan aspirasi masyarakat. Dengan langkah ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan sekaligus mendukung pemulihan ekonomi nasional.

 

Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah strategis yang sangat penting dalam membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah dalam menciptakan keadilan pajak, tetapi juga menjadi fondasi yang kuat untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan nasional.

“Kebijakan kenaikan PPN 1% merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem perpajakan yang berkeadilan dan mendukung kemandirian bangsa,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pendekatan yang transparan dan komunikasi intensif menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Dengan demikian, kebijakan PNN naik 1% tidak hanya memperkuat perekonomian nasional, tetapi juga memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan merata, yang membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

“Melalui pendekatan yang transparan dan komunikasi intensif, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan iklim usaha yang lebih adil, meningkatkan penerimaan negara, serta mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” tambah Vaudy.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengemukakan bahwa kebijakan ini memiliki dimensi strategis yang sangat penting dalam menghadapi tantangan global.

Tujuan utama kebijakan pajak ini adalah untuk menarik investasi asing yang dapat memperkuat perekonomian domestik, serta menggantikan tren penurunan penerimaan pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang telah lama menjadi kendala dalam pencapaian target penerimaan negara.

“Kebijakan pajak tujuannya untuk menarik investasi asing dan untuk menggantikan tren penurunan penerimaan PPh Badan,” kata Prianto.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa kenaikan tarif PPN 1% tidak akan dikenakan pada barang dan jasa yang termasuk dalam kategori kebutuhan dasar. Kebijakan ini diambil untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok ekonomi yang lebih rentan.

“Kenaikan tarif PPN 1% tersebut tidak berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum,” jelas Airlangga.

Dengan demikian, meskipun terjadi penyesuaian tarif PPN, sektor-sektor yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat tetap mendapat perlakuan khusus agar tidak membebani kondisi ekonomi mereka secara langsung.

Sementara itu, kebijakan ini mendapatkan dukungan luas dari mayoritas fraksi di DPR dalam rapat pembahasan tingkat I Komisi XI. Semua fraksi, kecuali PKS, menyepakati bahwa penerapan kenaikan PPN 1% secara bertahap hingga 2025 adalah langkah strategis yang adil. Selain itu, fraksi-fraksi mendukung perlindungan kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah melalui pembebasan pajak pada kebutuhan pokok dan jasa esensial. //

Kenaikan PPN 1% Tidak Berdampak Negatif: Pemerintah Pastikan Kebutuhan Pokok Masyarakat Terlindungi

Jakarta – Sejumlah pihak menyambut positif rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% pada tahun 2025, yang akan memperkuat penerimaan negara dan mendukung program pemerataan ekonomi. Meskipun terjadi kenaikan, sejumlah barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tidak akan terpengaruh oleh kebijakan ini.

 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% tidak akan berlaku bagi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, rumah sederhana, dan air minum. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, sambil tetap memperkuat basis penerimaan negara.

“Keputusan untuk menaikkan PPN ini diambil dengan pertimbangan yang matang. Kami ingin memastikan bahwa barang-barang yang penting untuk masyarakat, seperti kebutuhan pokok dan layanan dasar, tidak akan terpengaruh. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dan mendukung daya beli mereka, sementara sektor-sektor lain yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar akan berkontribusi lebih besar pada penerimaan negara,” ujar Airlangga Hartarto.

Di sisi lain, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menilai bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan berdampak besar pada industri makanan dan minuman (Mamin). Pasalnya, kebijakan ini hanya menyasar barang dan jasa yang termasuk dalam kategori barang mewah.

Menurutnya, industri makanan dan minuman yang berhubungan langsung dengan masyarakat tidak akan banyak berubah karena tarif PPN tetap terfokus pada barang yang lebih konsumtif dan bukan kebutuhan pokok.

“Untuk sektor yang berhubungan langsung di masyarakat, terutama produksi mamin, kami perhitungkan tidak akan banyak perubahan. PPN 12% lebih menyasar pada barang mewah. Kami akan terus mengkaji dampaknya dan memberi waktu bagi industri untuk menyesuaikan diri agar tetap dapat tumbuh sesuai dengan arah yang ditetapkan pemerintah,” ungkap Faisol Riza.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Dr. Ir. H. Adies Kadir, menyatakan bahwa kenaikan PPN ini sesuai dengan amanah undang-undang dan merupakan langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pemerataan ekonomi.

Adies Kadir mengatakan bahwa kebijakan ini sangat baik untuk memperkuat ekonomi Indonesia, terutama dalam mendukung pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.

“Peningkatan PPN ini bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk mendukung pemerataan ekonomi yang lebih adil di seluruh Indonesia. Kelompok konsumen barang mewah, yang mayoritas berasal dari kalangan atas, memiliki daya beli tinggi, sehingga mereka yang paling mampu untuk berkontribusi lebih besar terhadap negara,” jelas Adies Kadir.

Dengan dukungan dari berbagai pihak, kenaikan tarif PPN diharapkan dapat menjadi pilar bagi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan merata. Kebijakan ini tidak hanya berfokus pada penerimaan negara, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan pemerataan pembangunan di seluruh daerah.

Kenaikan PPN 1% Berikan Manfaat Untuk Rakyat dan Percepat Pemerataan Ekonomi

Oleh : Rivka Mayangsari*)

Peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan merupakan salah satu upaya penting dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia melalui kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berusaha untuk meningkatkan penerimaan negara demi kemakmuran rakyat. Salah satu kebijakan yang kontroversial namun perlu mendapat perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan kemungkinan menjadi 12 persen di tahun 2025, telah disetujui oleh DPR. Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menambah penerimaan negara demi memperkuat sektor ekonomi dan memperluas program sosial yang diberikan kepada masyarakat. Peningkatan tarif PPN memang tidak dapat dipungkiri akan berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa tertentu. Namun, kebijakan ini adalah langkah strategis yang diperlukan untuk menciptakan basis pendapatan negara yang lebih besar, yang pada akhirnya akan mendukung pembiayaan program-program sosial.

Penerimaan pajak yang diperoleh dari kebijakan ini tidak hanya mengalir untuk kepentingan negara, tetapi juga dialokasikan kembali untuk berbagai program sosial yang langsung bermanfaat bagi rakyat. Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, menegaskan bahwa hasil pajak akan dikembalikan ke masyarakat melalui berbagai bentuk bantuan sosial. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, serta subsidi listrik, LPG 3 kg, BBM, dan pupuk, adalah beberapa contoh bagaimana dana yang diperoleh dari pajak digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Selain itu, Dwi juga menekankan bahwa tidak semua barang akan dikenakan PPN. Kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, daging, telur, dan sayuran, termasuk dalam kategori barang yang dibebaskan dari pajak. Dengan demikian, masyarakat yang mengandalkan barang-barang pokok untuk kehidupan sehari-hari tidak akan merasakan beban tambahan dari kenaikan tarif PPN.

Peningkatan penerimaan negara melalui pajak juga tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki sektor sosial, tetapi juga untuk menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menegaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menyiapkan berbagai program untuk menjaga daya beli masyarakat tetap stabil. Salah satu program utama yang ditekankan adalah pengamanan pasar dalam negeri, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok dan ketersediaan barang.

Dalam upaya menjaga daya beli masyarakat, pemerintah akan meningkatkan sarana perdagangan dalam negeri dan memperkuat sistem pengawasan perdagangan. Selain itu, berbagai program yang berkaitan dengan pengembangan dan sertifikasi produk juga diupayakan agar kualitas barang yang diperdagangkan di pasar dapat bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini tentu memberikan jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh barang dengan harga yang terjangkau dan berkualitas.

Selain menjaga stabilitas pasar dalam negeri, pemerintah juga memfokuskan pada perluasan pasar ekspor untuk meningkatkan penerimaan negara. Diplomasi perdagangan internasional akan diperkuat, serta promosi dan informasi ekspor akan terus diperluas untuk membantu produk dalam negeri menembus pasar global. Program peningkatan UMKM juga menjadi prioritas, dengan fokus pada program “BISA” (Berani, Inovasi, Siap, Adaptasi), yang bertujuan untuk mencetak eksportir baru dari kalangan UMKM Indonesia.

Program ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional melalui inovasi desain dan peningkatan kualitas produk. Dengan semakin banyak produk yang diekspor, tentu akan ada peningkatan pendapatan yang bisa digunakan kembali untuk mendukung program-program kesejahteraan rakyat.

Secara keseluruhan, kebijakan kenaikan tarif PPN dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) adalah langkah yang strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. Hasil penerimaan tersebut kemudian dialokasikan untuk program-program sosial yang memberikan manfaat langsung kepada rakyat, seperti bantuan sosial, subsidi, dan program pemberdayaan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi, memperluas pasar ekspor, dan memberdayakan UMKM Indonesia.

Meskipun ada potensi peningkatan harga barang akibat kenaikan tarif PPN, manfaat yang diberikan kepada masyarakat melalui berbagai bentuk subsidi dan program sosial menjadi bukti bahwa kebijakan ini pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan negara melalui pajak bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan negara, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan rakyat tetap terjaga dan berkembang seiring dengan kemajuan ekonomi negara. Penerimaan pajak bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan pilar penting dalam mewujudkan kemajuan bangsa. Dengan pengelolaan pajak yang transparan dan efisien, setiap rupiah yang terkumpul akan digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, dan memastikan sistem kesehatan yang lebih merata serta berkualitas. Maka dari itu, kita perlu mendukung kebijakan perpajakan ini sebagai bagian dari kontribusi kita untuk masa depan yang lebih baik.

)* Pemerhati Ekonom

Pemerintahan Prabowo-Gibran Diyakini Dorong Pemerataan Ekonomi

JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus mengoptimalkan berbagai strategi guna memastikan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia.

Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi, SE., MA, Ph.D., menyatakan bahwa pihaknya siap berkontribusi aktif dalam mendukung kesuksesan program ekonomi pemerintah.

“Kami berkomitmen mendukung program-program ekonomi pemerintah melalui riset dan inovasi berbasis data,” ucapnya.

Ia menegaskan, riset berbasis kebijakan (policy-based research) menjadi salah satu kontribusi utama BRIN untuk memberikan rekomendasi strategis kepada pemerintah.

Selain itu, BRIN juga melakukan riset fundamental yang berfokus pada ilmu kependudukan, termasuk analisis mobilitas penduduk, dinamika urbanisasi, dan migrasi.

“Kami di BRIN juga meneliti tren kependudukan, seperti meningkatnya populasi perkotaan dan implikasinya terhadap pembangunan desa. Kajian semacam ini penting sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerataan ekonomi,” ujar Nawawi.

Selain itu, Nawawi menyoroti pentingnya riset terkait ketenagakerjaan, terutama dalam konteks digitalisasi ekonomi.

BRIN telah menyusun strategi untuk memetakan kebutuhan reskilling dan upscaling tenaga kerja agar lebih kompetitif dan dapat mengakses peluang di era digital.

Ia menambahkan bahwa peningkatan keterampilan tersebut sangat relevan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, terutama bagi pekerja di luar Pulau Jawa.

“Di Indonesia Timur, misalnya, kami mengusulkan pendirian pusat pelatihan kerja berbasis potensi ekonomi lokal, seperti tambang. Ini akan membantu masyarakat di daerah tersebut untuk mendapatkan keterampilan sesuai kebutuhan pasar,” jelas Nawawi.

Tidak hanya ketenagakerjaan, BRIN juga memperhatikan isu kesehatan dan lingkungan. Nawawi menegaskan, pelajaran dari pandemi COVID-19 menyoroti pentingnya edukasi publik tentang penyakit menular dan dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian masyarakat.

Sebagai lembaga riset, BRIN berencana melakukan kajian mendalam terkait dinamika penduduk di wilayah perbatasan pada tahun 2025.

Kajian tersebut bertujuan memberikan solusi terhadap tantangan kependudukan, seperti kurangnya dokumen identitas bagi masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).

Melalui kolaborasi tersebut, Pemerintah Prabowo-Gibran diharapkan mampu merumuskan kebijakan ekonomi yang inklusif, berbasis data, dan berdampak nyata bagi masyarakat di seluruh Tanah Air.