Pertama, adalah “tipe manusia pagi” alias morning lark. Mereka adalah tipe manusia yang lebih suka bangun pada pagi hari karena otak mereka memang berfungsi secara optimal pada waktu tersebut. Menariknya, jumlah populasinya “hanya” sekitar 40 persen di bumi.
“Tidak seperti morning lark, night owl seringkali tidak bisa tidur lebih awal di malam hari, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba. Hanya pada dini hari, mereka baru bisa tertidur,” tulis Walker dalam bukunya tersebut.
Bukan malas, tapi faktor genetik
Ada kalanya, untuk beberapa alasan para night owl yang punya kebiasaan begadang ini bangun di pagi hari. Namun, menurut Walker, kondisi otak mereka tidak bisa berfungsi secara efektif pada waktu tersebut.
“Meskipun terlihat bugar (di siang hari), otak mereka tetap berada dalam kondisi yang lebih mirip tidur,” ungkap Walker.
Walker menjelaskan, hal ini terutama sekali terjadi pada daerah yang disebut sebagai korteks prefrontal atau prefrontal cortex (PFC). Ia adalah adalah bagian otak yang terletak di belakang dahi dan dianggap sebagai “kantor pusat otak”.
Korteks prefrontal sendiri mengontrol pemikiran tingkat tinggi dan penalaran logis manusia. Bahkan, ia juga membantu menjaga manusia agar tetap terkendali.

“Ketika night owl dipaksa untuk bangun terlalu pagi, korteks prefrontal mereka tetap berada dalam kondisi ‘offline’ atau tidak aktif. Seperti mesin yang dingin setelah dinyalakan di pagi hari, dibutuhkan waktu yang lama untuk menghangatkannya,” kata Walker.
Menurut Walker, sifat-sifat yang demikian sangat ditentukan oleh genetika. Artinya, jika kamu adalah tipe night owl, ada kemungkinan bahwa salah satu (atau kedua) orang tuamu juga merupakan night owl.
Night owl tidak salah, perlakuan manusia saja yang tak adil
Sayangnya, masyarakat kebanyakan memperlakukan night owl secara tidak adil. Misalnya, orang-orang yang kerap begadang dan bangun siang mendapat label sebagai pemalas. Padahal, kata Walker, kondisi ini secara umum bukan karena kemauan mereka, tapi karena faktor DNA.
“Ini bukan kesalahan yang mereka lakukan secara sadar, melainkan takdir genetik,” ujar Walker.
Selain itu, Walker juga menganggap penjadwalan kerja masyarakat yang tidak seimbang, sangat diskriminatif bagi para night owl. Padahal, populasi mereka tak sedikit, yakni 30 persen jumlah manusia keseluruhan di bumi.
Karena tuntutan beraktivitas di pagi hari (standar jam normal masyarakat), kinerja otak night owl pun menjadi kurang optimal. Sebab, puncak gacor-gacornya kinerja otak mereka ketika memasuki sore atau malam hari. Jika terus dipaksakan melakukan aktivitas di pagi hari, hal itu bakal mempengaruhi kesehatan mereka, termasuk potensi depresi, kecemasan, diabetes, kanker, serangan jantung, hingga stroke.
Oleh karena itu, Walker berpendapat diperlukan perubahan sosial yang bisa mengakomodasi para night owl. Sebab, ini memang sebuah sifat yang dibawa secara genetik. Baginya, jika masyarakat saja punya cara mengakomodasi manusia yang punya keterbatasan fisik, harusnya ini juga bisa diterapkan dalam kasus night owl.
“Kita membutuhkan jadwal kerja yang lebih fleksibel, yang dapat beradaptasi dengan lebih baik terhadap semua kronotipe (kondisi alamiah manusia), dan bukan hanya mengakomodasi salah satunya saja,” tegasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza