Gen Begadang, Cap Pemalas, dan Omong Kosong Morning Person

Orang yang punya kebiasaan begadang sampai dini hari dan baru bangun saat siang alias night owl, kerap dicap sebagai pemalas. Padahal, menurut Matthew Walker dalam buku Why We Sleep (2017), kebiasaan tersebut nyatanya adalah bawaan lahir. Dengan demikian, mereka tidak salah, tapi jam kerja masyarakat lah yang bias dan tidak adil.

Dini Oktavia (25) memilih untuk tinggal di kos meskipun jarak antara rumah dengan kantor tempatnya bekerja hanya 20 menit perjalanan. Alasannya sederhana: dia hanya tak tahan dengan omelan orang tuanya yang kerap bilang kalau dia pemalas.

Perempuan asal Jogja ini bekerja sebagai customer service sebuah startup terkemuka. Dia bekerja delapan jam sehari sesuai shift yang sudah ditentukan. Ada kalanya kerja siang, ada kalanya juga kerja malam.

“Tapi kan aku seringnya itu shift siang, jam 11 baru siap-siap mulai kerja. Nah, aku selalu dibilang pemalas sama ortu gara-gara kalau tidur selalu jelang subuh, bangunnya jam 9, jam 10,” ujar Dini, berkisah pada Mojok, Sabtu (30/11/2024).

Dia paham, keluarganya memulai aktivitas di pagi hari. Adik-adiknya yang mulai berangkat sekolah, hingga ayahnya pergi bekerja pun juga pagi hari.

“Tapi ya apa salahnya. Toh, kalaupun ada pekerjaan rumah yang harus ku-handle, tetap kukerjain. Urusan kerjaan kantor ya biasa-biasa aja, bangun jam segitu nggak pernah telat juga,” jelasnya.

Jadi “kelelawar” selama kuliah

Hal serupa juga dialami Adam (23). Fresh graduate salah satu PTN di Jogja ini mengaku kalau masa mudanya habis untuk “kehidupan malam”. Namun, kata dia, kehidupan malam yang dimaksud bukan berkonotasi negatif. Tetapi lebih kepada kegiatan-kegiatan keorganisasian dan srawung antarmahasiswa.

“Nongkrong, ngopi terus. Tapi kalaupun cuma di kos, tetap aja susah tidur. Di kepala semacam sudah ada jamnya, mau siangnya tidur apa enggak pasti tiap jam 3 pagi baru bisa tidur,” ungkapnya.

Untungnya, selama kuliah Adam sangat jarang mengalami kuliah pagi. Kalaupun ada hal-hal yang harus dikerjakan di pagi hari, seperti bertemu dosen untuk bimbingan atau urusan lain, dia tetap saja bisa bangun pagi meski baru tidur kurang dari tiga jam.

“Tapi tetap saja, meskipun malam sebelumnya cuma tidur 3 atau jam, malam itu tetap begadang. Baru bisa tidur dini hari.”

Persoalannya, kebiasaan tidur dini hari dan bangun siang ini membuatnya kerepotan setelah memasuki dunia kerja. Apalagi, dia bekerja di kantor yang punya iklim korporasi amat kuat.

Adam mengaku, dia bisa saja mengusahakan untuk bangun pagi. Namun, pekerjaannya kerap tidak efisien karena rasa kantuk selalu menyerangnya di tengah-tengah aktivitasnya.

Tipe manusia “morning lark” dan “night owl”

Sekilas, kebiasaan yang dialami oleh Dini dan Adam itu bukanlah sesuatu yang normal. Bagi banyak orang, tidur dini hari dan bangun siang, dianggap sebagai kemalasan. Namun, nyatanya kebiasaan ini adalah bawaan lahir.

Profesor ilmu saraf dan psikologi di Universitas California, Matthew Walker dalam buku larisnya, Why We Sleep (2017), menyebut ada dua tipe manusia yang berkaitan dengan kebiasaan tidurnya.

Pertama, adalah “tipe manusia pagi” alias morning lark. Mereka adalah tipe manusia yang lebih suka bangun pada pagi hari karena otak mereka memang berfungsi secara optimal pada waktu tersebut. Menariknya, jumlah populasinya “hanya” sekitar 40 persen di bumi.

Kedua, adalah “tipe manusia malam” alias night owl. Kebalikan dari morning larknight owl adalah mereka yang secara alami lebih senang tidur larut malam (atau dini hari) dan bangun lebih terlambat. Populasinya adalah 30 persen manusia di bumi.

“Tidak seperti morning lark, night owl seringkali tidak bisa tidur lebih awal di malam hari, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba. Hanya pada dini hari, mereka baru bisa tertidur,” tulis Walker dalam bukunya tersebut.

Bukan malas, tapi faktor genetik

Ada kalanya, untuk beberapa alasan para night owl yang punya kebiasaan begadang ini bangun di pagi hari. Namun, menurut Walker, kondisi otak mereka tidak bisa berfungsi secara efektif pada waktu tersebut.

“Meskipun terlihat bugar (di siang hari), otak mereka tetap berada dalam kondisi yang lebih mirip tidur,” ungkap Walker.

Walker menjelaskan, hal ini terutama sekali terjadi pada daerah yang disebut sebagai korteks prefrontal atau prefrontal cortex (PFC). Ia adalah adalah bagian otak yang terletak di belakang dahi dan dianggap sebagai “kantor pusat otak”.

Korteks prefrontal sendiri mengontrol pemikiran tingkat tinggi dan penalaran logis manusia. Bahkan, ia juga membantu menjaga manusia agar tetap terkendali.

Gen Begadang, Cap Pemalas, dan Omong Kosong Morning Person.MOJOK.CO
Matthew Walker menyebut otak night owl berfungsi lebih efisien saat sore atau malam hari (foto: retractionwatch)

“Ketika night owl dipaksa untuk bangun terlalu pagi, korteks prefrontal mereka tetap berada dalam kondisi ‘offline’ atau tidak aktif. Seperti mesin yang dingin setelah dinyalakan di pagi hari, dibutuhkan waktu yang lama untuk menghangatkannya,” kata Walker.

Menurut Walker, sifat-sifat yang demikian sangat ditentukan oleh genetika. Artinya, jika kamu adalah tipe night owl, ada kemungkinan bahwa salah satu (atau kedua) orang tuamu juga merupakan night owl.

Night owl tidak salah, perlakuan manusia saja yang tak adil

Sayangnya, masyarakat kebanyakan memperlakukan night owl secara tidak adil. Misalnya, orang-orang yang kerap begadang dan bangun siang mendapat label sebagai pemalas. Padahal, kata Walker, kondisi ini secara umum bukan karena kemauan mereka, tapi karena faktor DNA.

“Ini bukan kesalahan yang mereka lakukan secara sadar, melainkan takdir genetik,” ujar Walker.

Selain itu, Walker juga menganggap penjadwalan kerja masyarakat yang tidak seimbang, sangat diskriminatif bagi para night owl. Padahal, populasi mereka tak sedikit, yakni 30 persen jumlah manusia keseluruhan di bumi.

Karena tuntutan beraktivitas di pagi hari (standar jam normal masyarakat), kinerja otak night owl pun menjadi kurang optimal. Sebab, puncak gacor-gacornya kinerja otak mereka ketika memasuki sore atau malam hari. Jika terus dipaksakan melakukan aktivitas di pagi hari, hal itu bakal mempengaruhi kesehatan mereka, termasuk potensi depresi, kecemasan, diabetes, kanker, serangan jantung, hingga stroke.

Oleh karena itu, Walker berpendapat diperlukan perubahan sosial yang bisa mengakomodasi para night owl. Sebab, ini memang sebuah sifat yang dibawa secara genetik. Baginya, jika masyarakat saja punya cara mengakomodasi manusia yang punya keterbatasan fisik, harusnya ini juga bisa diterapkan dalam kasus night owl.

“Kita membutuhkan jadwal kerja yang lebih fleksibel, yang dapat beradaptasi dengan lebih baik terhadap semua kronotipe (kondisi alamiah manusia), dan bukan hanya mengakomodasi salah satunya saja,” tegasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

Penyesalan Alumni Ilmu Komunikasi Unair, Kuliahnya Susah, Masih Sulit Cari Kerja

Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi memang terlihat santai, mangkanya tak pernah sepi peminat. Bisa dibilang prospek kerja lulusannya pun luas, tapi sebagai lulusan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Hana (23) mengaku menyesal.

Hana mendapat gelar sarjana atau S1 Ilmu Komunikasi usai menempuh pendidikan selama 4,5 tahun di Universitas Airlangga (Unair). Setelahnya, dia menyesal karena sulit mencari kerja.

Bukan karena peluang kerjanya yang kecil, justru pilihan karier yang semakin banyak membuat dia bingung. Hana berpikir, tidak ada perusahaan yang benar-benar membutuhkan lulusan Ilmu Komunikasi atau seorang ahli dibidang itu.

“Aku merasa keahlian yang aku bisa juga dikuasai sama jurusan lain secara otodidak, seperti menulis, desain, dan lain-lain,” kata Hana kepada Mojok, Senin (3/12/2024).

Berdasarkan survei yang dilakukan ZipRecruiter pada November 2022, Ilmu Komunikasi menjadi jurusan paling disesali oleh lulusannya. ZipRecruiter merupakan situs bursa kerja Amerika yang didalamnya berisi para pencari kerja dan pemberi kerja.

Jurusan Ilmu Komunikasi seperti rimba 

Dalam pengaplikasiannya, Ilmu Komunikasi mempelajari berbagai bidang. Mahasiswa Ilmu Komunikasi tak hanya mempelajari cara atau etika dalam berkomunikasi, tapi juga media massa, periklanan, public relations, komunikasi politik, komunikasi keluarga, komunikasi kesehatan, psikologi komunikasi, desain komunikasi visual, dan masih banyak lagi.

Di Universitas Airlangga (Unair) sendiri, mahasiswa diwajibkan mengambil konsentrasi atau peminatan korporat dan media di pertengahan semester. Dari sana, Hana sebetulnya sudah bisa memilih pekerjaan apa yang akan dia geluti setelah lulus. Hanya saja, Hana merasa kebingungan karena kurang terpapar informasi mengenai dunia kerja.

“Beneran kurang pengetahuan tentang demand market in reality itu kaya gimana,” ucapnya.

Hana membandingkan jalan karier Ilmu Komunikasi berbeda dengan ilmu eksak. Misalnya, mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer. Jika sehari-hari dia belajar coding dan membuat software, maka output kariernya pun sudah jelas.

“Ada temanku yang kerja jadi software engineer, dan aku lihat anak IT tuh memang mencari kualifikasi S1 Ilmu Komputer, Teknik Informatika yang belajar soal coding,” ujar Hana.

Sementara, untuk bekerja di media massa misalnya, seorang jurnalis tak perlu mendapat gelar S1 Ilmu Komunikasi. Justru, banyak wartawan hebat yang bukan berasal dari Ilmu Komunikasi. Sebut saja Karni Ilyas atau Najwa Shihab yang merupakan lulusan Fakultas Hukum. Pun ketika ingin menjadi seorang content creator atau content writer. Tak harus lulus Ilmu Komunikasi.

Sulit mencari pekerjaan yang benar-benar spesifik dan linear

Jalan karier yang masih kabur membuat Hana kebingungan untuk melamar kerja. Terutama di pertengahan tahun 2024. Alih-alih, terus melamar di pekerjaan yang sejalan dengan jurusan, Hana banting setir menjadi management trainee.

“Bulan Juni-Juli kemarin kerasa banget, sulit sekali mencari kerja. Akhirnya aku lari ke management trainee yang lagi-lagi ini bisa dilamar oleh semua jurusan,” ujar Hana.

Alhasil, Hana harus berkompetisi dengan lulusan mahasiswa jurusan lain. Persaingannya pun semakin ketat, sementara lulusan Ilmu Komunikasi juga banyak. Beruntung, tak lama kemudian Hana diterima untuk mengikuti program management trainee di salah satu perusahaan retail.

Management trainee adalah program pelatihan untuk karyawan menjadi manajer di suatu perusahaan atau bisnis. Biasanya posisi itu diperuntukkan bagi fresh graduate yang umumnya belum memiliki pengalaman di dunia kerja.

“Sebenarnya pekerjaan itu kurang linear dengan jurusanku, rata-rata temanku juga beda jurusan, tapi kami sama-sama belajar dari nol,” kata dia.

Masuk Ilmu Komunikasi di kampus ternama itu nggak gampang

Sejak SMP, Hana hobi menulis. Dia mengira jurusan yang linear dengan hobinya adalah Ilmu Komunikasi meskipun ada pula jurusan lain, Sastra Indonesia misalnya.

Namun, ketertarikan Hana tak hanya berasal dari hobi menulisnya, tapi juga saat mendengarkan radio. Ketika SMA, Hana membayangkan, begitu asiknya menjadi penyiar yang mengobrol dengan pendengarnya.

“Dulu pertimbanganku antara Ilmu Komunikasi dan Hukum, cuman karena sudah lebih dulu tertarik dengan Ilmu Komunikasi tanpa sadar aku jadi bias. Menganggap Ilmu Komunikasi adalah jurusan paling cocok buatku,” ujarnya.

Oleh karena itu, meski tak lolos lewat jalur SNMPTN maupun SBMPTN di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hana tetap mencoba lewat jalur mandiri.

Sebagai informasi, Ilmu Komunikasi memiliki tingkat keketatan tertinggi. Artinya, banyak yang minat untuk masuk jurusan tersebut, tapi daya tampungnya sedikit. Di UI saja, Ilmu Komunikasi masuk dalam 11 besar tingkat keketatan tertinggi di bidang sosial humaniora lewat jalur SNMPTN, yakni sebesar 2 persen.

Karena sudah kecewa ditolak oleh dua kampus tadi, Hana memilih Universitas Airlangga (Unair). Pilihan pertamanya tetap pada Ilmu Komunikasi dan syukurnya keterima.

Kata siapa bisa nyantai?

Rupanya, menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi tak seperti yang dibayangkan Hana. Dia sempat menyesal karena jurusan tersebut tak sesuai passion-nya. Sering kali, Hana juga membandingkan diri dengan teman-temannya.

“Aku merasa nggak ada apa-apanya dibanding yang lain, saat itu aku lagi di masa struggling with insecurity. Belum tau cara berpenampilan dan itu ternyata berpengaruh ke kepercayaan diriku untuk berbicara di depan umum,” kata dia.

Selain itu, ada mata kuliah yang menurutnya sulit dan membuatnya hampir menyerah, yakni perencanaan event atau lebih dikenal dengan istilah MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) di Universitas Airlangga (Unair).

Mata kuliah itu mengharuskan Hana menggelar acara secara berkelompok. Dia sempat tidak menyangka, karena terpilih sebagai ketua sponsorship. Rasanya sedikit tertekan, karena dia tak punya pengalaman sama sekali.

Terlebih, tidak mudah menggelar acara di masa pandemi. Berbagai perusahaan pun sedang berusaha mengatasi kondisi finansial mereka, sehingga modal yang dia dapatkan saat itu terbatas untuk mengadakan acara.

Meski begitu, dari sana dia dapat belajar soal kepemimpinan dan mencari solusi untuk mengurangi risiko gagal. Setelah lulus, dia akhirnya melatih diri agar lebih berpikir positif.

Rupanya, ada banyak juga mata kuliah yang menurutnya berguna dan relevan hingga sekarang. Misalnya, public speaking, skill editing, analytical thinking, hingga analysis swot. Ilmu itu, kata Hana, sangat berguna untuk Focus Group Discussion (FGD), Leaderless Group Discussion (LGD), dan wawancara kerja.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi