BKSDA Sumbar Evakuasi Tapir dari Kolam BBI Sukomananti Pasbar

SIMPANG AMPEK – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Wilayah I Pasaman mengevakuasi tapir yang masuk ke dalam kolam Balai Benih Ikan (BBI) Sukomananti, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Kamis (12/12).

Kepala BKSDA Sumbar Wilayah I Pasaman, Ade Putra, menjelaskan laporan terkait keberadaan satwa tersebut diterima pukul 09.30 WIB. Sesampainya di lokasi BBI Pasbar, proses evakuasi berlangsung selama beberapa jam.

“Setelah menerima laporan, kami segera berangkat dari Lubuk Sikaping. Awalnya, kami berasumsi bahwa tapir ini tidak terlalu agresif sehingga penangkapan bisa dilakukan menggunakan jaring seperti biasa. Namun, lokasi berupa area berbahan semen cukup membahayakan bagi satwa langka tersebut. Oleh karena itu, kami harus mengubah strategi evakuasi,” ujar Ade.

Proses evakuasi dilakukan hati-hati setelah tim menemukan adanya bekas luka pada tubuh tapir. Hal ini mengindikasikan satwa pemalu yang biasanya menjauh dari manusia ini kemungkinan merasa terancam oleh keramaian di sekitarnya.

Lebih lanjut, Ade menambahkan tapir dewasa tersebut, yang diperkirakan berusia 10 tahun dengan jenis kelamin betina, akan dibawa ke kantor BKSDA untuk observasi.

“Jika diperlukan perawatan lebih lanjut, maka kami akan melakukan rehabilitasi terlebih dahulu. Jika sudah layak dilepasliarkan, maka satwa ini akan dilepas di wilayah konservasi,” ungkapnya. (r)

Meneliti Sejarah Perkembangan Islam di Afrika Selatan, Peneliti Negeri Rempah Foundation Berkunjung ke Cape Town

ACEH | TIGA peneliti Negeri Rempah Foundation berkunjung ke Cape Town, Afrika Selatan dalam misi menelusuri sejarah masuknya Islam di Afsel bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan RI, Sabtu-Rabu (7-11/12/2024).

Ketiga peneliti tersebut adalah Yanuardi Syukur (dosen antropologi Universitas Khairun, Ternate), Abdul Kadir Ali (dosen Universitas Nuku, Tidore) dan Irma Zahrotunnisa Wijaya (peneliti Negeri Rempah Foundation). Selain ke Afsel, Negeri Rempah juga mengirimkan delegasinya pada misi di beberapa negara lainnya.

Khusus kehadiran mereka di Cape Town untuk melacak jejak penyebaran Islam di Afsel melalui jalur rempah. Mereka disambut dengan hangat oleh Konsul Jenderal RI Cape Town Tudiono. Di sela-sela makan malam di Wisma KJRI Cape Town, Tudiono menyambut baik kunjungan tersebut dan berharap agar kemitraan antara Indonesia dan Afsel, khususnya Cape Town dapat berjalan semakin bermakna khususnya dalam relasi keislaman. la bahkan mendorong agar berbagai studi terkait relasi Islam di kedua negara dapat terus diintensifkan sebagai bentuk diplomasi budaya Indonesia di luar negeri.

Konjen Tudiono menjelaskan bahwa ulama, tokoh dan pejuang Indonesia memiliki peran signifikan dalam tersebarnya Islam di wilayah tersebut. la menyebut beberapa nama seperti Syekh Yusuf al-Makassari di abad ke-17 dan Tuan Guru Abdullah bin Qadhi Abdussalam dari Tidore pada abad ke-18 yang menjadi inspirator tidak hanya bagi penyebaran Islam tapi juga bagi kemerdekaan Afsel hingga saat ini. Setiap tahun, Tudiono juga menggelar berbagai event kultural dan ekonomi untuk mendekatkan antara Indonesia dan Afsel.

Ketua Tim Negeri Rempah Foundation yang juga pengurus kompartemen luar negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Yanuardi Syukur menjelaskan bahwa Mantan Presiden Afsel Nelson Mandela bahkan menganggap dua tokoh tersebut sebagai inspirator dalam perjuangan bangsanya.

“Bahkan ketika Mandela dibebaskan, lokasi pertama yang ia kunjungi adalah makam Tuan Guru Abdullah bin Qadhi Abdussalam di komplek Tana Baru, Cape Town,” kata Yanuardi.

Tak jauh dari kuburannya, juga masih berdiri Masjid al-Auwal, yakni masjid pertama di Afsel yang terletak di Jalan Dorp, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdullah bin Qadhi Abdussalam setelah dibebaskan dari penjara di Robben Island.

Masjid tersebut hingga kini masih eksis sebagai simbol perjuangan umat Islam Cape Town untuk pengakuan islam dan kebebasan beribadah.

Menurut saat berkunjung ke lokasi masjid, tempat ibadah laki-laki berada di lantai dasar dan lantai duanya menjadi madrasah sore untuk anak-anak Muslim Cape Town serta tempat shalat perempuan. “Di situ, mereka belajar mengaji menggunakan Iqra’ seperti yang kita pakai di Indonesia dengan sedikit modifikasi,” tambah Yanuardi.

Sementara itu, Abdul Kadir Ali menyampaikan bahwa atas kiprah Tuan Guru di Afsel, maka penting untuk mempersiapkan pengusulan Tuan Guru Abdullah bin Qadhi Abdussalam sebagai pahlawan nasional Indonesia. Beliau bahkan menulis al-Qur’an sebanyak 6 copy, yang salah satunya saat ini dipajang di Masjid al-Auwal. “Kiprah Tuan Guru yang sangat luar biasa, maka patutlah untuk Pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai pahlawan nasional,” jelas Abdul Kadir Ali yang juga Dekan FISIP Universitas Nuku.

Nyatanya, Malioboro Kini Tak Lagi Sama dan Kata “Istimewa” bagi Jogja Hanya Pencitraan Semata

Malioboro kini bukan Malioboro yang dulu. Kini, ia tak punya nyawa dan gairah. Persis seperti kata “istimewa” dari Jogja yang ternyata pencitraan semata.

Dengan dalih mencari referensi untuk skripsi, pada 2019, saya seorang diri menempuh perjalanan dari Purwokerto ke Jogja. Kala itu ada kali kedua saya datang ke Jogja dan menjadi satu titik dalam pusaran kerumunan yang tersedot citra “Istimewa”.

Usai memburu buku, salah satu kawan saya yang di ada Jogja menghampiri. Olehnya, aku di ajak ke Masjid Kauman. Kami mengobrol selayaknya kawan yang lama tidak bertemu, sembari menikmati cilok seharga lima ribu. Sayang, kawan saya tak bisa berlama-lama. Dia mahasiswa yang aktif berorganisasi, harus rapat dan ini itu. Jadi, saya kembali seorang diri.

Merasakan Malioboro yang bukan main ramainya

Lantaran hanya sendirian, saya memutuskan untuk jalan-jalan di Malioboro. Bukan main ramainya.

Para penjual begitu bergairah di sisi kanan kiri pinggir jalan. Pelancong dari berbagai daerah dan luar negeri lalu-lalang. Pengamen tunanetra mengamen dengan speaker di dekatnya. Para nenek penjual sate ayam dan sate telur mengisi tempat kosong di sela-sela bangku-bangku Malioboro.

Seniman-seniman jalanan tak kurang kreatif. Penari diiringi musik tradisional berjoget dengan lincahnya. Baju-baju, pernak-pernik, makanan semuanya ada!

Malioboro memang penuh dengan seni kehidupan. Semakin larut, pengunjung semakin padat. Hingga pukul 6 pagi saja, Malioboro masih ramai. Orang-orang menyeringai dengan berbagai gaya menghadap kamera.

Beberapa bangku terisi orang-orang yang terlelap dengan damainya. Saat sarapan gudeg di emperan, si ibu penjual bilang, “Malioboro baru mulai akan lengang sekitar jam 10 pagi.”

Covid menghantam Jogja

Pada 2020, pemerintah memberlakukan lockdown karena Covid-19 di banyak tempat. Termasuk Jogja dan Malioboro.

Saya melihat dari layar televisi, Malioboro begitu lengang, begitu kosong, dan terlihat petugas sedang menyemprotkan disinfektan. Melihat itu batin saya seketika terguncang.

“Ke mana ribuan orang yang menggantungkan hidup di Malioboro? Bagaimana cara mereka melanjutkan hidup? Apa kabar para nenek penjual sate, para pengamen, seniman, dan pedagang kaki lima di sana?”

Agak sulit membayangkan keadaan mereka. Ketidaksiapan menghadapi situasi ini terlihat di mana-mana, tidak hanya di Jogja dan penghuni Malioboro.

Bergeser 2 tahun kemudian, pada 2022, Covid mereda. Apakah kesejahteraan kembali memeluk PKL Malioboro seperti sediakala?

Pada 2022 itu, saya kembali ke Jogja dan menetap selama 2 tahun. Dan sampai saat ini, saya belum memutuskan untuk tinggal lebih lama atau benar-benar meninggalkannya.

Setelah 2 tahun tinggal di Jogja, saya masih sempat menilik Malioboro, meski tidak sering. Malioboro masih ramai, dan selalu ramai. Terlebih malam Minggu, ketika naik  motor saja sulit untuk menembus kemacetan di depan Stasiun Tugu.

Ternyata, orang-orang masih penasaran dengan Istimewanya Jogja di Malioboro. Antusiasme para penikmat romantisme tak berkurang sejak dulu, mungkin malah bertambah. Terlebih kalau mendengar lagu Adhitia Sofyan “…terbawa lagi langkahku kesana, mantra apa entah yang Istimewa, kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja.”

Tidak lagi sama

Sebentar. Saya memandangi Malioboro lebih lekat. Rasanya ada yang berbeda. Lebih tertata, tapi kurang bernyawa. Aura ingar-bingarnya terasa hampa. Entah ke mana perginya gairah Malioboro yang dulu pernah kulihat, kesemrawutan yang “nyeni”.

Saking “nyeni”-nya, konon seniman-seniman legendaris juga lahir di sini. Ah ya! Belakangan saya baru paham bahwa nyawa Malioboro adalah para pedagang kaki lima dan seniman-seniman jalanan. Sekarang, napas mereka tersengal-sengal, bahkan meregang nyawa, tersekap dalam petak-petak kecil lapak Teras 1 dan Teras 2.

Para PKL tergusur dari ruang hidupnya semula, tepian Jalan Malioboro yang memanjang. Hilangnya Covid tidak lantas mengusir raut muram bisnis-bisnis mereka. Setiap hari, masih ada pengunjung yang memadati Malioboro. Namun, rasa sepi sunyi masih menyeruak di antara para PKL yang tidak lagi seberuntung dulu untuk beramah-tamah langsung dengan turis di sepanjang jalan itu.

Penggusuran yang mengentak Jogja

Semalam hujan gerimis, aura Jogja kian romantis. Di cuaca dingin itu, kehangatan menyeruak di ruang tengah Kantor AJI Yogyakarta.

Di sana duduk-duduk sejumlah orang, termasuk Pak Arif Usman, yang akan menjadi tokoh penting dalam catatan ini. Udar rasa yang disampaikan oleh Pak Arif mengesankan bahwa pemindahan para PKL dari selasar ke teras-teras sungguh bukan perkara yang bisa dijelaskan dengan sederhana.

Proses pemindahan terkesan tiba-tiba dan mengejutkan. “Warga tidak pernah disosialisasi, langsung eksekusi, bahkan pakai kekerasan,” ungkapnya.

Penggusuran PKL dilakukan secara paksa dan sepihak, yang mengakibatkan ketercerabutan masyarakat dari tempat tinggal dan pekerjaan. Padahal, “Malioboro ada dan diperhitungkan karena keberadaan PKL,” kenang Pak Arif.

Mulanya para PKL juga merasa tenang-tenang saja. Ya maklum, pada 2006, Gubernur DIY menyampaikan bahwa PKL tidak akan pernah digusur. Tapi, nyatanya….

Di balik teras, para pedagang hanya bisa mengenang kehidupan mereka yang sejahtera, dulu. Sekarang, mereka jauh dari kata sejahtera. Penggusuran atau bahasa halusnya “relokasi, sterilisasi, dan penataan” PKL ini telah merenggut hak atas ekonomi masyarakat yang bertopang hidup di Malioboro.

Relokasi mestinya mensejahterakan, tapi ini hanyalah eksekusi kehendak penguasa yang memaksa. Rakyat harus manut sama pemerintah meskipun pemerintah tidak mempedulikan hak-hak PKL. Bahkan Paguyuban Tri Dharma PKL Malioboro dianggap seolah tidak ada.

Pemerintah Jogja seakan-akan tidak menganggap keberadaan Paguyuban Tri Dharma PKL. Apalagi untuk menjadi jalan jalan sosialisasi terkait relokasi. Komnas HAM pun mengamini bahwa “pelibatan” dalam proses relokasi para pedagang ini sama sekali tidak ada.

Adanya intimidasi

Orang-orang bahkan dibuat semakin resah karena diintimidasi untuk menandatangani kontrak relokasi. Jika tidak bersedia, mereka diancam lapaknya akan hilang. Proses relokasi ini harapannya berkeadilan. Tapi pada kenyataannya, satu per satu pedagang di panggil untuk menandatangani pernyataan yang tidak menguntungkan pedagang.

Keinginan para pedagang itu sederhana. “Jadikan kami mitra dalam membuat kebijakan, jangan jadikan kami korban dari kebijakan. Kebijakan yang ada bukannya membantu rakyat miskin kota, tetapi malah menambah jumlah rakyat miskin kota. Kita tertipu dengan Jogja Istimewa yang ayem, tentrem, tapi di baliknya ada penindasan,” ungkap Pak Arif Usman. Demi citra wisata, suara orang-orang yang tertindas juga tidak dimunculkan.

Demi “Sumbu Filosofi”

Penataan Sumbu Filosofi yang sudah resmi menjadi warisan budaya oleh UNESCO menjadi dalih penggusuran para PKL. “Apakah kalau ada PKL di sana, sumbu filosofi tidak sah?” Bambang Muryanto mencoba mengulik.

Filosofi manunggaling kawula lan Gusti, menurutnya, harus membuat pemimpin andhap asor (rendah hati), tapi malah dipakai untuk menggusur. Sekarang, suasana Malioboro yang seperti dulu justru bisa ditemukan di Koridor Gatot Subroto, Solo.

Kota-kota lain seperti Purwokerto dan Purworejo jika diamati baik-baik, berusaha menghadirkan nuansa Malioboro di alun-alunnya. Malioboro dihadirkan di mana-mana, Malioboro yang asli justru kehilangan jati diri dan ruhnya oleh beauty-fikasi yang tidak humanis.

Kiranya dengan cerita-cerita itu, kita tidak lagi kalap degan branding istimewanya Jogja yang berseliweran di media sosial. Pasalnya itu hanyalah pencitraan demi memuluskan pariwisata. Kemajuan pariwisata memang bagus, tapi tidak cukup jika kita hanya terperangkap pesona-pesona permukaan tanpa mempedulikan penindasan-penindasan yang ada di baliknya.

Penulis: Wiji Nurasih

Editor: Yamadipati Seno

Memanusiakan Difabel bersama Relawan PRYAKKUM dengan Mewujudkan Lingkungan yang Inklusif

Sejumlah relawan dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (PRYAKKUM), Jogja menggelar Aksi Kolaborasi untuk Inklusi Disabilitas atau Aksibilitas. Suatu kampanye untuk menyuarakan isu difabel. Bersama 34 peserta yang hadir, saya diajak berkeliling ke empat pos yakni laboratorium sosial, knowledge management, jejaring, dan sumber daya manusia.

Ketua penyelenggara acara Aksibilitas, Eufra (21) mengatakan kegiatan Aksibilitas 2024 menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh PRYAKKUM untuk membangun kesadaran masyarakat soal isu difabel.

“Tujuan kegiatan ini juga mencari volunteer dan memberikan kesempatan mereka untuk mengeksplorasi lebih banyak,” kata Eufra.

Eufra bilang seharusnya ada 50 orang yang mendaftar, tapi karena hujan lebat yang mengguyur Jogja sejak pukul 13.00 WIB membuat sebagian peserta batal hadir. Sementara acara dimulai pada Jumat (6/12/2024) pukul 15.00 WIB.

Sebelum berkeliling, panitia membagi peserta menjadi beberapa kelompok. Saya sendiri masuk di pos terakhir. Di sana, saya berkenalan dengan beberapa teman-teman mahasiswa Universitas Atma Jaya.

Upaya PRYAKKUM memperjuangkan hak difabel

Setelah kelompok dibagi, kami berjalan menuju masing-masing pos. Di pos pertama, panitia dari PRYAKKUM menjelaskan apa itu laboratorium sosial? Sebab, tak banyak yang tahu kalau PRYAKKUM adalah laboratorium sosial yang kegiatannya meneliti seputar hak difabel.

Memanusiakan Difabel bersama Relawan PRYAKKUM. MOJOK.CO
Salah satu relawan PRYAKKUM, Ola, mengisi materi di Aksibilitas. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“PRYAKKUM ini sebagai pusat informasinya. Jadi ketika teman-teman mau magang atau mau meneliti soal isu difabel yang mungkin isunya jarang banget terangkat, mereka bisa menghubungi resource center,” ujar Eufra.

Selain itu, PRYAKKUM juga melakukan percobaan, mengukur, serta melatih teman-teman difabel agar siap bekerja dan terjun di masyarakat.

Melalui kegiatan Aksibilitas, Eufra jadi sadar, tak banyak masyarakat yang mengetahui isu soal difabel. Misalnya saja ada peserta yang antusias melihat proses pembuatan kaki palsu. Ada pula peserta yang baru tahu, bahwa harga alat bantu bagi difabel terbilang mahal bagi mereka.

“Terus ada juga yang tadi aku lihat, mereka belum sama sekali mengetahui jenis-jenis difabel,” ucap Eufra.

Selama 10 menit berbincang di pos pertama, kami melanjutkan kegiatan ke pos selanjutnya, yakni knowledge management. Salah satu pembahasan yang menjadi highlight adalah isu soal kesehatan mental bagi difabel.

“Kalian tahu nggak sih kalau teman-teman yang mengalami gangguan psikologis, pikiran, perilaku, emosi, contohnya seperti depresi itu termasuk disabilitas mental?” tanya Angga, salah satu konselor PRYAKKUM kepada peserta.

Angga menjelaskan jenis-jenis disabilitas terbagi menjadi empat, yakni disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, hingga disabilitas sensorik.

Menariknya, survei kesehatan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyatakan 1 dari 3 remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Misalnya stress, depresi, schizophrenia, sleep disorder, bipolar disorder, personality disorder, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Angga punya mantra yang bisa diterapkan peserta agar sehat secara jiwa, yakni memberikan afirmasi positif kepada diri sendiri. Setiap bangun tidur atau pergi keluar rumah misalnya, Angga akan mengucapkan kalimat ini:

“Saya mau dan mampu menerima diri saya, mau menerima orang lain, berani menghadapi tantangan, berpikir logis dan positif, dan bahagia,” ucap Angga sembari mempraktikkannya dengan gerakan.

Memanusiakan teman-teman difabel

Angga adalah salah satu pool of expert dari PRYAKKUM. Pool of expert sendiri memiliki peran utama menjadi narasumber atau fasilitator, konsultan, responden, maupun konselor.

Tugas itu, kata dia, penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar tidak keliru atau lebih paham mengenai hak-hak difabel. Misalnya, tidak ada lagi istilah orang cacat atau orang gila. Yang ada adalah penyandang disabilitas atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Dengan begitu, sosialisasi yang dilakukan bisa dengan pendekatan yang humanis. Bahwa difabel bukan untuk dikasihani. Mereka hanya perlu kebutuhan khusus untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Vincent (21) salah satu peserta Aksibilitas menyadari bahwa ada hak difabel yang belum terpenuhi. Misalnya, keterbatasan akses untuk mereka pergi ke tempat umum. Terkadang dia pun bingung untuk membantu orang-orang di sekitarnya.

“Saya kan jarang berinteraksi dengan mereka, kurang pengetahuan umum juga soal isu disabilitas, jadi saya ingin ikut acara ini supaya mengenal teman-teman difabel lebih jauh,” ucapnya.

PRYAKKUM: Siapapun bisa memperjuangkan hak difabel

Sebagai pusat penelitian, PRYAKKUM harus mengsosialisasikan seputar hasil penelitiannya atau tentang hak difabel. Oleh karena itu, mereka harus berjejaring untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak yang relevan.

Kegiatan berjejaring ini penting untuk mendukung resource center, baik secara finansial maupun non-finansial. Sejak 1982 berdiri, resource center menjalin jejaring dengan berbagai mitra.

Resource center memiliki organisasi yang dipimpin dan dijalankan oleh difabel seperti Disabled People’s Organization (DPO). Lalu organisasi berbasis masyarakat yang tidak mencari keuntungan, serta organisasi non-pemerintah yang bekerja secara independen dari pemerintah, dan masih banyak lagi.

Fingerprint
Salah satu peserta melakukan fingerptint untuk menyuarakan isu difabel. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Ketua penyelenggara acara Aksibilitas, Eufra menjelaskan setelah Aksibilitas ini digelar dia berharap banyak peserta yang mau menjadi volunteer. Berbagai bidang pun, kata Eufra sangat dibutuhkan.

“Latar belakang anak-anak magang di sini juga berbeda-beda. Ada mahasiswa Ilmu Komunikasi misalnya yang membantu dalam hal pembuatan konten, lalu anak-anak IT yang membuat website, dan sebagainya,” kata dia.

Eufra menegaskan tugas manusia adalah membantu sesama, jadi tidak ada perbedaan usia, background pendidikan, keluarga, atau kondisi fisik dan mental sekalipun untuk menyuarakan hak difabel.

“Peserta juga melakukan fingerprint sebagai suatu aksi bahwa kolaborasi tidak hanya dilakukan 1-2 orang, tapi semua orang dari berbagai warna dan latar belakang yang berbeda punya satu tujuan di Aksibilitas,” ujarnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

Pengalaman Menyaksikan Langsung Party-nya Orang Palembang

Di sebuah daerah, di perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin, saya menyaksikan sendiri party-nya orang Palembang. Absurd!

Aroma citrus menyembur dari balik jaket kulit yang dipakai Reza. Rambut klimisnya sama lurus dengan skinny jeans hitam, membalut kakinya yang ramping. Rapi keseluruhan tanpa kusut sedikit saja. Malam minggu itu dia siap bertandang ke sebuah hajatan di sebuah daerah di Palembang.

Belum separuh tubuhnya keluar dari pintu mobil, dia berteriak memanggil saya yang masih tergeletak di sekretariat UKM kampus kami. Dia memaksa saya untuk ikut.

Empat ajakan sebelumnya sudah saya tolak. Ini kali kelima dia ingin saya menyaksikan sendiri bagaimana party-nya orang Palembang. Malam itu sekret memang lebih sepi dari biasanya. Daripada melewati malam yang bosan, ikut Reza mungkin ide bagus.

Party favorit masyarakat Sumatera

Reza mendapatkan info perhelatan akbar itu dari status Facebook. Musik jedag-jedug akan memeriahkan sebuah acara pernikahan. Siapa yang menikah? Tentu Reza tidak tahu. Selama unit musik ini menyampaikan kabar kedatangannya, masyarakat akan berduyun menagih hiburan.

Genre EDM dengan remix lagu-lagu populer memang jadi favorit masyarakat Sumatera kebanyakan, salah satunya Palembang. Skena ini sudah terbentuk sejak lama dan melebarkan penikmatnya hingga lintas usia. Remaja, dewasa, orang tua, hingga anak-anak tak jarang terlihat di lantai dansa. Seperti koplo dan biduannya di Jawa, Sumatera punya house music dan female disk jockey atau sering disingkat FDJ.

Persiapan matang sebelum berpesta

Pukul 20:00 WIB kami membelah Jl. Kolonel H. Barlian yang padat. Waktu itu jalur LRT yang membentang dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin hingga ke kompleks olahraga Jakabaring sedang dibangun. Reza tak mampu menutupi raut gelisahnya. Ingin segera sampai ke lokasi karena khawatir jika melewatkan acara puncak.

Kegelisahan itu juga dipengaruhi oleh whisky KW berbotol gepeng yang sedikit dia tenggak sebelum berangkat. Reza memang selalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk malam seperti ini. Stamina yang fit, tampilan yang rapi, mobil bersih plus bensin yang penuh, dan pil yang dia telan sesampainya kami di lokasi parkir hajatan. Hajatan itu ada di daerah perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin.

Basa-basi dia menawarkan pil merah jambu bergambar Mickey Mouse itu pada saya. Basa-basi saja karena dia sudah tahu bahwa saya akan menolak. Lagipula niat Reza mengajak saya karena ia butuh orang dengan kesadaran penuh. Tentu untuk menjaganya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Entah itu potensi konflik dengan pengunjung lain, atau dari dirinya sendiri yang tidak bisa dikontrol. Bahaya kalau terlalu “tinggi”.

Obat yang akrab disebut inex atau pil koplo ini adalah kandungan senyawa kimia bernama metilendioksimetamfetamin. Euforia dan rasa percaya diri tinggi akan dirasakan si pemakai dalam 3-4 jam setelah mengkonsumsinya.

Di jam-jam itu, detak jantung dan pernapasannya melesat, hingga mengatupkan rahangnya dan menggertakan gigi. Terasa kesemutan dan nyeri otot di bagian tertentu. Makanya, minyak angin atau Freshcare jadi starterpack wajib. Ini dibutuhkan untuk mengoles leher mereka yang akan bergeleng sepanjang malam.

Wangi citrus Reza sudah bercampur Freshcare bahkan sejak kami berjalan menuju kerumunan. Musik sudah menghentak dengan tempo dan volume tinggi.

Dunia gemerlap sekaligus gelap

Acara itu dihelat di halaman berukuran 1/3 lapangan sepak bola. Tepat di sebelah rumah pemilik hajat yang pagi tadi menggelar akad dan resepsi. Sebuah lahan datar di lingkungan permukiman, tidak jauh dari rumah-rumah warga lainnya. Selain tenda, kursi, dan dan panggung yang biasa kita temukan di sebuah perayaan pernikahan, terlihat juga lapak alkohol berjejer di sekitaran lokasi.

Benar saja. Golongan usia remaja, dewasa, orang tua, hingga anak-anak mengisi daftar ratusan pengunjung. Beberapa dari mereka hanya menyaksikan dari sudut. Yang lainnya sudah oleh hanyut oleh irama house music. Tidak bisa diganggu.

MC yang sesekali mengiringi vokal dan memandu acara sebetulnya cukup mengganggu. Kalau nonton dangdut koplo dan menemukan penabuh simbal yang kerap nyeletuk di tengah lagu dan memberi pesan-pesan lucu, nah peran MC di hajatan Palembang kurang lebih sama. Namun dengan porsi nyeletuk yang lebih sering dengan candaan yang garing.

Kalau mengetik kata kunci “DJ Palembang” di kolom pencarian TikTok, kalian akan menyaksikan pemandangan yang kurang lebih ada di depan mata saya malam itu. Bass mengentak dari speaker full-range yang berbaris di sebelah panggung. Pendar lampu spotlight yang berputar ke segala penjuru. Juga ratusan kepala yang tidak berhenti bergerak mengikuti tempo lagu. Entah cuma digerakan oleh musik atau zat kimia yang mungkin mereka konsumsi.

Pesta jadi salah satu media penyebaran narkoba?

Saya bukan pemakai inex dan semacamnya. Tapi dari teman-teman macam Reza saya mampu membedakan. Mana orang yang bergoyang karena musik plus alkohol atau narkoba, dan mana yang bergoyang cuma karena musik. Tidak dalam pengaruh apa pun. Alias polosan.

Mulut Reza mulai tak bisa berhenti berbicara karena efek pil. Kami sibuk membincangkan seorang anak-anak yang jaraknya tidak jauh dari kami. Seorang bocah umur sekitar 12-14 tahun. Dengan posisinya duduk di kursi, badan tegak sambil bergeleng, wajah memerah, dan rahangnya mengeras. Tidak salah lagi, sudah pasti mengonsumsi narkoba.

Saya heran, entah dari mana barang itu didapatkan anak SD atau SMP. Tapi seketika sadar bahwa tanah yang saya pijak adalah Palembang. Saya jadi teringat kisah dari sebuah desa di kabupaten lain.

Di sana, hidup warga amat bergantung dengan sabu-sabu. Kristal putih itu sudah melekat ke sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Tidak ada hari tanpa “menggoreng” metamfetamin. Bapak dan anaknya yang masih sekolah sudah terbiasa join barang haram ini sehari-hari. Sebuah kisah epik plus gaya parenting yang unik. Jadi wajar kalau sekadar pil warna-warni bergambar kartun mudah didistribusikan ke berbagai golongan usia.

Tapi saya pikir, datang ke sini bukan untuk jadi polisi moral buat bocah yang sedang asyik itu, kok. Biarkan mereka menikmati musik dengan kesadarannya yang lepas landas. Bersama anak-anak ini, saya cuma perlu optimis menyambut Indonesia Emas 2045.

Masyarakat Palembang dan hiburannya yang dipaksa berpisah

Akhirnya, polisi membuat gebrakan. Tepatnya di Agustus 2023. Kapolrestabes Palembang mengeluarkan surat larangan memainkan house music di semua hajatan.

Skena musik satu ini dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Katanya. “Larangan memainkan musik remix ini upaya untuk menekan peredaran narkoba di wilayah Sumsel,” lanjut Pak Kapolres lagi.

Bagi yang melanggar aturan akan dipidana kurungan 3 bulan dan denda sebesar 5 juta rupiah. Wow. Apakah sudah saatnya kita ucapkan “Bravo Kepolisian Indonesia”? Tentu saja belum. Tidak usah.

Nyatanya, penyebaran narkoba, khususnya ekstasi di Palembang belum mampu ditekan sepenuhnya. Melarang musik remix di hajatan demi menekan peredaran narkoba sama saja dengan mengambil segenggam salju dari gunung es yang hanya muncul di permukaan.

Terus, apa solusi yang tepat? Ya ndak tahu. Harusnya sih polisi dan BNN paling paham soal ini. Dalam upaya memberantas peredaran narkoba, mereka punya sumber daya paling mumpuni. Namun, menuding musik sebagai faktor utama distribusi narkoba adalah bentuk kemalasan berpikir.

Pengalaman seru di Palembang yang cukup dirasakan sekali

Di sini, seluruh lapisan masyarakat melebur. Menanggalkan semua masalah hidupnya di rumah. Tidak ada tekanan kerja dari kantor. Lupakan hasil panen yang kurang memuaskan. Jangan ingat gebetan yang tak kunjung memberi kepastian.

Sudah dua jam berlalu. Orang-orang datang dan pergi, kerumunan masih padat. Efek obat pada Reza sudah bekerja penuh.

Sepertinya dia sudah lupa bahwa ada saya yang menemaninya. Saya yang cuma menenggak whisky palsu berusaha menikmati suasana juga. Memerhatikan visual dari panggung dan efek psikedelik dari lampu-lampu yang berputar. Perempuan di balik alat DJ juga terlihat piawai me-remix lagu. Entah dia remix sendiri di panggung itu atau cuma memainkan lagu yang sudah diracik sebelumnya.

Ketika saya ikut menyanyikan satu lagu hits Indonesia berjudul “Separuh Aku” dari Noah, terjadi sedikit gesekan dari penonton. Beruntung, konflik itu tidak mengganggu jalannya pesta. Langsung cepat ditangani centeng lokal. Keributan macam ini memang sering terjadi di banyak hajatan. Tidak sedikit yang keos sampai harus menyetop jalannya hajatan.

Tapi Reza masih belum peduli dengan sekitarnya. Hingga pukul 23:30 dia terlihat sedikit kepayahan. Nafasnya tersengal, lebih cepat dari sebelumnya. Tanda-tanda kalau efek si kecil merah jambu itu akan turun.

Tapi Reza sudah cakap dalam urusan seperti ini. Yang ia butuhkan cuma menjauh dari kerumunan, sebab emosinya akan sulit dikontrol.

Saya menuntunnya berjalan ke mobil lalu mengambil alih stir. Dalam perjalanan, kondisi Reza sudah membaik. Pengaruh pil hampir sepenuhnya berhenti. Kami tertawa sepanjang jalan membahas bocah “tinggi” tadi. Dan sudah saya sampaikan ke Reza, tidak ingin menyaksikan pemandangan itu lagi.

Penulis: Razi Andika

Editor: Yamadipati Seno

PO NPM Bus Andalan Orang Minang yang Bertahan hingga Tiga Generasi

Tidak banyak perusahaan keluarga yang mampu bertahan dari generasi ke generasi. Salah satu yang bertahan hingga saat ini adalah Perusahaan Otobus (PO) Naikilah Perusahaan Minang atau orang mengenalnya sebagai PO NPM. Perusahaan yang berdiri sejak Indonesia belum merdeka itu kini dikelola oleh Angga Vircansa Chairul yang merupakan generasi ke tiga dalam keluarga.

PO NPM merupakan salah satu perusahaan bus legendaris yang bisa bertahan hingga saat ini. Perusahaan yang berdiri di  Padang Panjang itu menjadi bus tertua di Pulau Sumatra. Sosok yang merintis PO NPM adalah Sutan Barbangso Nan Kuniang dan kawannya pada 1937.

Awalnya ramai karena tambang batubara

Melansir kanal YouTube PerpalZ TV, NPM awalnya melayani trayek dari Bukittinggi-Sawahlunto pulang-pergi (PP). Pada zaman itu, trayek tersebut ramai peminat karena di Sawahlunto terdapat banyak perusahaan tambang batubara. Bus ini melayani trayek yang terus berkembang hingga mencakup Padang-Bukittinggi. Angga Vircansa Chairul dalam kanal YouTube itu menjelaskan, posisi NPM yang berada di Padang Panjang startegis karena berada di antara  Bukittinggi, Sawahlunto, Padang, Solok, maupun Batusangkar.

Setelah Sutan Barbangso Nan Kuniang meninggal dunia di akhir 1970-an, PO NPM diteruskan oleh anaknya yang ke-9, Chairul Bahauddin Sutan Barbango, yang merupakan ayah Angga. Di bawah kepemimpinan Chairul perusahaan bus terus berkembang, bahkan mampu memperluas trayek-trayeknya di luar Sumatera Barat. Bukan hanya karena tangan dingin Chairul,  bus memang menjadi moda tranportasi primadona pada saat itu.

Bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) pertama PO NPM melayani trayek Padang-Medan. Setelahnya baru melayani trayek Padang-Jakarta yang menjadi andalan para perantau warga Minang.  Perkembangan rute ke luar Sumatera Barat itu terjadi di 1980-an.

Masa-masa itu hingga sebelum Krisis Moneter memang menjadi periode keemasan bagi kebanyakan perusahaan bus, termasuk PO NPM. Bahkan, di saat itu perusahaan bisa memberangkatkan 40 unit bus trayek Padang-Bukit Tinggi dalam satu hari. Perusahaan terus menambah trayek hingga bisa melayani Pekanbaru, Dumai, Jambi, Bengkulu,, Palembang, dan Bandar Lampung. Perusahaan memperluas trayek di luar Sumatera yaitu hingga Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Bandung.

Peralihan PO NPM yang berat

Angga melanjutkan bisnis kelauarga pasca ayahnya meninggal dunia pada 2006. Pada saat itu ia tidak langsung mengambil alih PO NPM, ia sempat bekerja sebagai karyawan bank selama kurang lebih 2,5 tahun di Jakarta. Setelah bekerja kantoran, akhirnya Angga memutuskan melanjutkan bisnis keluarga yang pada saat itu cukup berat. Ia mengelola 27 unit bus yang masih beroperasi.

Sebagai gambaran, bisnis bus dalam kondisi yang tidak baik pada saat itu. Sebabnya, tarif yang mesti bersaing dengan pesawat terbang low cos carier yang bisa lebih murah daripada tarif bus. Selain itu, masyarakat semakin mudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil dan motor karena adanya kemudahan pinjaman.

Berbagai upaya dilakukan agar selamat dari kondisi yang sulit itu. Termasuk menata ulang manajemen waktu itu. Begitu pula dengan pengelolaan sumber daya manusia perusahaan. PO NPM juga melakukan pengembangan usaha dengan mendiversifikasi usahanya melalui angkutan pariwisata bernama Vircansa Tour Bus. Bus Pariwisata ini beroperasi di Sumatera Barat dan sekitarnya.

Kondisi mulai membaik walau memang ada tantangan di sana-sini. Saat ini PO NPM memiliki 90 unit bus beroperasi. Kelas yang disediakan ada  Executive Class, Sultan Class, dan Sultan Class. Rentang tarif tikernya berada di harga Rp500.000 hingga Rp675.000.

Hingga kini berbagai inovasi terus dilakukan. Salah satunya memfasilitasi penumpang yang hendak berpergian ke Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa melalui tiket terusan. Untuk melakukan itu, mereka bekerja sama dengan PO bus Haryanto. Mereka juga bekerja sama dengan platform penjualan tiket untuk menyiasati lesunya bisnis transportasi  saat pandemi.

Melihat kembali perjalanan PO NPM, Angga mengapresiasi perjuangan perusahaan yang didirikan kakeknya itu. Pasalnya, tidak banyak bisnis keluarga yang mampu bertahan dari generasi ke generasi. Ia melihat sendiri betapa pelik masa transisi kepemimpinan dalam bisnis keluarga.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono

Klaten Akhirnya Punya Bioskop setelah Puluhan Tahun, Tak Repot ke Jogja-Solo Lagi buat Nonton Film

Klaten bakal memiliki bioskop (lagi) setelah mati suri puluhan tahun. Bioskop XXI di Klaten Town Square (Klatos) bakal menjadi jujukan baru bagi warga Kota Bersinar yang mencari hiburan.

Selama ini, jika hendak nonton film di bioskop, warga Klaten hanya punya dua pilihan: kalau tidak ke Solo ya ke Jogja, sebagai dua daerah terdekat. Mau bagaimana lagi, di Klaten tidak ada bisokop.

Klaten memang punya mal, namanya Klatos yang berlokasi di Jl. Pemuda, Tegalmulyo, Klaten. Hanya saja, memang tidak ada bioskop seperti Cinema XXI di sana.

Namun, kabar baik datang bagi para penikmat film di Klaten. Sebab, di penghujung 2024 ini, bioskop XXI akan melengkapi Klatos.

Keriuhan gara-gara cuitan Kaesang

Rasan-rasan soal bioskop di Klaten, ingatan sebagian banyak orang Klaten pasti akan tertuju pada April 2023 silam.

Saat itu, putra bungsu Joko Widodo (Jokowi) sekaligus adik dari Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, mempertanyakan soal keberadaan bioskop di kota yang juga berjuluk “Negeri Seribu Umbul” tersebut.

Mulanya, akun X @MafiaWasit menulis, “Yang ga diketahui orang-orang tentang Klaten”. Kaesang, melalui akun X @kaesangp lantas merespons, “BIOSKOPNYA KLATEN MANAAA?!?!?!?”.

Respons Kaesang itu pun lantas menuai banyak tanggapan dari warganet. Termasuk di antaranya Pemkab Klaten yang langsung memberi tanggapan.

Klaten memang sudah direncanakan punya bioskop XXI

Pemkab Klaten pada dasarnya memang sudah mendorong adanya bioskop, khususnya di Klatos yang masa itu masih bernama Plasa Klaten.

Untuk diketahui, Plasa Klaten adalah mal yang sudah buka sejak 1994. Pada Maret 2023, Plasa Klaten direvitalisasi dan kemudian berganti nama menjadi Klatos.

Bupati Klaten, Sri Mulyani, menghendaki agar pihak pengembang melengkapi Klatos dengan fasilitas bioskop. Hanya saja, kala itu memang masih belum dipastikan apakah keberadaan bioskop tersebut bakal benar-benar terealisasi atau tidak.

Hingga akhirnya, pada Juli 2024, pihak pengembang Klatos memastikan berlangsungnya pengerjaan bioskop XXI.

Kini bioskop XXI bakal bisa dinikmati warga Klaten

Senin, (2/12/2024), Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan (DKUKMP) Klaten, Ananng Widjatmoko menyebut bahwa kini Klatos sudah dilengkapi bioskop XXI.

Berdasarkan informasi yang Anang dapat dari pihak pengelola Klatos, bioskop XXI tersebut dijadwalkan bakal beroperasi menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, menepati libur panjang akhir tahun 2024 dan libur semesteran untuk pelajar sekaligus mahasiswa.

”Nanti terdiri dari tiga studio. Lokasinya berada di lantai 3 (Klatos). Di lantai 4 nanti ada food court. Untuk studionya, standar lah seperti di kota-kota lain,” ujar Anang seperti dikutip dari Radar solo.

Selain karena sudah populer, XXI dipilih karena selalu update film-film baru dan lebih lengkap. Dengan begitu, harapannya, bioskop XXI di Klatos bisa memenuhi hasrat sinema warga Kota Bersinar.

Riwayat 50-an tahun silam

Merangkum dari berbagai sumber, bioskop sebenarnya bukan barang baru bagi Klaten. Meski kecil, di kabupaten ini pernah menjamur banyak bioskop. Tak hanya di pusat kota, tapi juga di tingkat kecamatan hingga desa-desa.

Merujuk keterangan Anang, bioskop di Klaten mulai eksis sejak 1970-an. Masa itu, setidaknya ada empat bioskop terkenal di Klaten, yakni bioskop Rita, Chandra, Dewi dan Ramayana.

Lantaran jarak yang berdekatan, persaingan keempatnya pun terbilang cukup ketat. Jumlah bioskop di Klaten pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Bahkan masuk hingga tingkat desa.

Misalnya di Desa Pondok, Kecamatan Karanganom. Sebuah gedung kesenian di Desa Pondok diubah menjadi gedung bioskop. Saat ini, bekas gedung tersebut dialih fungsikan menjadi kantor desa.

Catatan tersebut cukup menggambarkan betapa tingginya minat warga Klaten terhadap hiburan layar lebar.

Sisa-sisa kegemerlapan

Menjelang medio 2000-an, persisnya dalam rentang 1997-1998, gemerlap bioskop-bioskop di Klaten mulai meredup untuk kemudian mati sama sekali. Gedung-gedung bioskop, terutama empat gedung yang pernah sangat eksis kemudian beralih fungsi.

Gedung bioskop Rita menjadi taman kota. Bekas gedung bisokop Chandra menjadi pertokoan. Lalu Ramayana menjadi gedung pertemuan Eko Kapti. Sementara lain-lainnya pun bernasib tak jauh berbeda.

Setelah puluhan tahun tak ada gemerlap bioskop, penghujung 2024 ini bakal menjadi saksi menyalanya kembali hiburan layar lebar itu di Klaten. Dengan begitu, demi nonton film-film baru, warga Klaten tak perlu lagi melipir ke Solo atau Jogja. Cukup ke XXI Klatos saja.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

NET TV Tak Ada Lagi, Kami Kehilangan Program-program yang Mendidik dan Memotivasi

Hengkangnya sejumlah pimpinan perusahaan NET TV membuat sedih sebagian penonton setianya. Termasuk mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang pernah menjadikan stasiun televisi swasta tersebut sebagai motivasi mereka berkuliah.

Beberapa dari mereka pernah bermimpi bisa bekerja di salah satu perusahaan media tersebut, sebab program-programnya mengedukasi. Di tengah acara yang hanya mengedepankan rating, NET TV berani menyajikan program fresh yang disukai kalangan muda.

Perusahaan stasiun televisi swasta, PT Net Visi Media Tbk atau NET TV mengumumkan tujuh jajaran pimpinan perusahaannya mengundurkan diri pada Senin (7/10/2024) lalu. Merujuk pada surat pemberitahuan di laman keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BFI), pimpinan perusahaan yang mundur terdiri dari empat anggota direksi dan tiga dewan komisaris.

Alasan pengunduran itu memang belum jelas, tapi kabar ini seiring dengan informasi penggabungan saham NET TV dengan rumah produksi PT MD Entertainment Tbk milik Manoj Punjabi. MD Entertainment akan membeli 80,05 persen saham NET TV seharga Rp1,65 triliun.

Pengumuman itu membuat sejumlah penonton khawatir, jika program favorit mereka ikut berhenti. Selain menghibur, program NET TV dinilai lebih mendidik dibandingkan acara di stasiun televisi lain.

Penggemar setia program NET TV

Hanif (21) menyayangkan diakuisisinya NET TV oleh MD Entertainment. Menurutnya banyak program dari NET TV yang berkualitas dan tidak banyak ditiru oleh stasiun televisi lain, sehingga terbilang orisinal.

“Programnya unik dan sepertinya waktu itu belum ada program-program edukasi serupa. Kalaupun ada, pengemasan kontennya tentu berbeda. Menurutku, lebih bagus NET TV dalam menyajikan,” ujarnya kepada Mojok, Senin (2/12/2024).

Bagi Hanif program stasiun televisi swasta itu memberikan kenangan tersendiri. Dia mengaku tak pernah absen menonton program favoritnya saat kecil, meskipun saat dewasa dia jadi jarang menonton televisi.

Hanif bercerita, sepulang sekolah dia akan bergegas menyalakan televisi di siang hari untuk mengisi waktu luang. Saat berusia 10 tahun, dia agak kaget, karena stasiun televisi yang biasa dia tonton adalah Spacetoon.

Spacetoon terkenal dengan tayangan edukasi dan kartunnya untuk anak-anak. Rupanya, di tahun 2013 itu, nomor saluran Spacetoon telah berubah menjadi NET TV. Meski sedikit kecewa, Hanif tetap menonton program yang tayang. Kebetulan saat itu acara yang dilihatnya adalah Lentera Indonesia dan langsung terkesima.

NET TV mendidik penontonnya

Hanif amat menyukai berbagai tayangan edukasi di NET TV. Salah satunya, Lentera Indonesia. Program dokumenter itu membuatnya terenyuh karena menayangkan kondisi pendidikan di Indonesia.

Lentera Indonesia memang dirancang untuk menggerakkan jiwa sosial penonton. Di mana, mereka akan melihat pengalaman hidup dari pemuda-pemudi Indonesia yang rela mengabdi menjadi guru dan mengajar di wilayah terpencil.

Selain Lentera Indonesia, Hanif juga menyukai program Indonesia Bagus yang menampilkan pesona dan keindahan alam Indonesia. Dari sana, Hanif dapat belajar soal keunikan dan budaya dari masyarakat Indonesia.

“Benar-benar inspiratif, sekelas televisi dapat menyajikan tayangan seperti itu dan hal itu belum pernah saya temui,” ucapnya.

Selain program dokumenter, Hanif juga menyukai program hiburan seperti The Comment dan Ini Talkshow. Dia menilai isi konten program itu tak hanya disajikan ala kadarnya, tapi menunjukkan candaan yang menghibur dan juga kreatif.

“Bahkan menurutku, NET TV menjadi pelopor bagi acara selainnya untuk mengemas acara hiburan yang kreatif dan orisnil,” kata dia.

Memotivasi penonton untuk bekerja di media

Kekaguman Hanif dengan tayangan-tayangan di NET TV memotivasinya untuk membuat media sendiri. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi di UPN Veteran Jawa Timur, Hanif ingin seusai kuliah bisa membuat tayangan yang berkualitas.

Hanif yang tertarik di bidang Jurnalistik mengagumi program seperti 86. Suatu acara yang menunjukkan realitas kriminal dan bekerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Konten jurnalistiknya dikemas dengan tidak membosankan, di mana ada POV penegakan hukum yang menunujukkan kondisi remaja bahkan masyarakat kita rupanya masih jauh dari kata baik,” kata dia.

Senada dengan Hanif, Dhea (23) yang juga penggemar NET TV mengaku ingin bekerja di industri tersebut. Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi di UPN Veteran Jawa Timur itu tertarik dengan kualitas produksi dan atmosfer kerjanya.

“Saya pingin banget dulu bekerja di NET TV karena ingin berkontribusi, menciptakan program-program berkualitas yang dapat menginspirasi penonton,” ujar Dhea.

Menurut Dhea, tayangan di stasiun televisi swasta tersebut terbilang fresh dan relevan dengan anak muda. Mulai dari konsep acara, pengambilan gambar, dan keterbukaan ruang untuk menghadirkan ide-ide kreatif.

Begitu juga dengan Rimaya (23). Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) itu mengaku tertarik bekerja di NET TV setelah melihat program The East. Sebuah acara yang menyajikan cerita komedi tentang kehidupan di balik layar para pekerja TV program Entertainment News.

“Dari situ muncul ketertarikan, pokoknya aku harus jadi pegawai NET TV. Mangkanya, aku jadi suka dunia media, audio visual, narasi, yang juga mendorongku masuk Ilmu Komunikasi,” kata Rima.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

NET TV Tak Ada Lagi, Kami Kehilangan Program-program yang Mendidik dan Memotivasi

Hengkangnya sejumlah pimpinan perusahaan NET TV membuat sedih sebagian penonton setianya. Termasuk mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang pernah menjadikan stasiun televisi swasta tersebut sebagai motivasi mereka berkuliah.

Beberapa dari mereka pernah bermimpi bisa bekerja di salah satu perusahaan media tersebut, sebab program-programnya mengedukasi. Di tengah acara yang hanya mengedepankan rating, NET TV berani menyajikan program fresh yang disukai kalangan muda.

Perusahaan stasiun televisi swasta, PT Net Visi Media Tbk atau NET TV mengumumkan tujuh jajaran pimpinan perusahaannya mengundurkan diri pada Senin (7/10/2024) lalu. Merujuk pada surat pemberitahuan di laman keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BFI), pimpinan perusahaan yang mundur terdiri dari empat anggota direksi dan tiga dewan komisaris.

Alasan pengunduran itu memang belum jelas, tapi kabar ini seiring dengan informasi penggabungan saham NET TV dengan rumah produksi PT MD Entertainment Tbk milik Manoj Punjabi. MD Entertainment akan membeli 80,05 persen saham NET TV seharga Rp1,65 triliun.

Pengumuman itu membuat sejumlah penonton khawatir, jika program favorit mereka ikut berhenti. Selain menghibur, program NET TV dinilai lebih mendidik dibandingkan acara di stasiun televisi lain.

Penggemar setia program NET TV

Hanif (21) menyayangkan diakuisisinya NET TV oleh MD Entertainment. Menurutnya banyak program dari NET TV yang berkualitas dan tidak banyak ditiru oleh stasiun televisi lain, sehingga terbilang orisinal.

“Programnya unik dan sepertinya waktu itu belum ada program-program edukasi serupa. Kalaupun ada, pengemasan kontennya tentu berbeda. Menurutku, lebih bagus NET TV dalam menyajikan,” ujarnya kepada Mojok, Senin (2/12/2024).

Bagi Hanif program stasiun televisi swasta itu memberikan kenangan tersendiri. Dia mengaku tak pernah absen menonton program favoritnya saat kecil, meskipun saat dewasa dia jadi jarang menonton televisi.

Hanif bercerita, sepulang sekolah dia akan bergegas menyalakan televisi di siang hari untuk mengisi waktu luang. Saat berusia 10 tahun, dia agak kaget, karena stasiun televisi yang biasa dia tonton adalah Spacetoon.

Spacetoon terkenal dengan tayangan edukasi dan kartunnya untuk anak-anak. Rupanya, di tahun 2013 itu, nomor saluran Spacetoon telah berubah menjadi NET TV. Meski sedikit kecewa, Hanif tetap menonton program yang tayang. Kebetulan saat itu acara yang dilihatnya adalah Lentera Indonesia dan langsung terkesima.

NET TV mendidik penontonnya

Hanif amat menyukai berbagai tayangan edukasi di NET TV. Salah satunya, Lentera Indonesia. Program dokumenter itu membuatnya terenyuh karena menayangkan kondisi pendidikan di Indonesia.

Lentera Indonesia memang dirancang untuk menggerakkan jiwa sosial penonton. Di mana, mereka akan melihat pengalaman hidup dari pemuda-pemudi Indonesia yang rela mengabdi menjadi guru dan mengajar di wilayah terpencil.

Selain Lentera Indonesia, Hanif juga menyukai program Indonesia Bagus yang menampilkan pesona dan keindahan alam Indonesia. Dari sana, Hanif dapat belajar soal keunikan dan budaya dari masyarakat Indonesia.

“Benar-benar inspiratif, sekelas televisi dapat menyajikan tayangan seperti itu dan hal itu belum pernah saya temui,” ucapnya.

Selain program dokumenter, Hanif juga menyukai program hiburan seperti The Comment dan Ini Talkshow. Dia menilai isi konten program itu tak hanya disajikan ala kadarnya, tapi menunjukkan candaan yang menghibur dan juga kreatif.

“Bahkan menurutku, NET TV menjadi pelopor bagi acara selainnya untuk mengemas acara hiburan yang kreatif dan orisnil,” kata dia.

Memotivasi penonton untuk bekerja di media

Kekaguman Hanif dengan tayangan-tayangan di NET TV memotivasinya untuk membuat media sendiri. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi di UPN Veteran Jawa Timur, Hanif ingin seusai kuliah bisa membuat tayangan yang berkualitas.

Hanif yang tertarik di bidang Jurnalistik mengagumi program seperti 86. Suatu acara yang menunjukkan realitas kriminal dan bekerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Konten jurnalistiknya dikemas dengan tidak membosankan, di mana ada POV penegakan hukum yang menunujukkan kondisi remaja bahkan masyarakat kita rupanya masih jauh dari kata baik,” kata dia.

Senada dengan Hanif, Dhea (23) yang juga penggemar NET TV mengaku ingin bekerja di industri tersebut. Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi di UPN Veteran Jawa Timur itu tertarik dengan kualitas produksi dan atmosfer kerjanya.

“Saya pingin banget dulu bekerja di NET TV karena ingin berkontribusi, menciptakan program-program berkualitas yang dapat menginspirasi penonton,” ujar Dhea.

Menurut Dhea, tayangan di stasiun televisi swasta tersebut terbilang fresh dan relevan dengan anak muda. Mulai dari konsep acara, pengambilan gambar, dan keterbukaan ruang untuk menghadirkan ide-ide kreatif.

Begitu juga dengan Rimaya (23). Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) itu mengaku tertarik bekerja di NET TV setelah melihat program The East. Sebuah acara yang menyajikan cerita komedi tentang kehidupan di balik layar para pekerja TV program Entertainment News.

“Dari situ muncul ketertarikan, pokoknya aku harus jadi pegawai NET TV. Mangkanya, aku jadi suka dunia media, audio visual, narasi, yang juga mendorongku masuk Ilmu Komunikasi,” kata Rima.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

Ali Azhar D: Tradisi Sedekah Bumi Bertahan di Tengah Perubahan Zaman

Ali Azhar D juga menyoroti perlunya kolaborasi antara pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan komunitas budaya, untuk merevitalisasi Sedekah Bumi.

Ali Azhar D, seorang konten kreator yang kerap membagikan konten seputar sejarah, budaya, pariwisata, dan isu-isu kepemudaan, berbagi pandangannya mengenai perkembangan tradisi Sedekah Bumi di masyarakat Jawa.

“Sedekah Bumi merupakan ritual yang sarat akan makna dan nilai-nilai luhur yang patut kita lestarikan bersama,” ujar Ali Azhar D dalam wawancara dengan kami.

Menurutnya, tradisi ini merepresentasikan rasa syukur masyarakat Jawa atas hasil bumi yang melimpah. “Di dalamnya terkandung filosofi harmonisasi antara manusia, alam, dan leluhur yang sangat berharga,” imbuhnya.

Namun, Ali Azhar D mengakui bahwa Sedekah Bumi tak luput dari pengaruh perubahan zaman. Ia mencontohkan adanya pergeseran pada prosesi kuliner dalam ritual tersebut.

“Dulu, menyembelih kambing menjadi sajian wajib dalam kenduri. Namun, kini hal itu semakin jarang kita jumpai. Penggunaan tumpeng pun lebih banyak menggantikan hidangan tradisional lainnya,” jelasnya.

Selain itu, Ali Azhar D juga menyoroti perubahan pada kesenian yang menyertai ritual Sedekah Bumi. “Tari tayuban yang identik dengan Sedekah Bumi kini telah berasimilasi dengan budaya modern, seperti penambahan yel-yel dan tarian kontemporer. Bahkan, penggunaan sound system ‘Horeg’ turut merubah suasana yang semestinya khidmat dan syahdu.”

Meskipun demikian, Ali Azhar D menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Ia melihat potensi besar dalam memanfaatkan teknologi digital untuk melestarikan Sedekah Bumi.

“Dokumentasi melalui video, media sosial, dan platform digital lainnya dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan apresiasi masyarakat, terutama generasi muda, terhadap warisan budaya ini,” ungkapnya.

Selain itu, Ali Azhar D juga menyoroti perlunya kolaborasi antara pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan komunitas budaya, untuk merevitalisasi Sedekah Bumi.

“Dengan cara ini, tradisi ini dapat terus menjadi bagian integral dari identitas budaya Jawa dan menjadi inspirasi bagi banyak orang,” pungkasnya.