Pencabutan PMN Wujudkan Transformasi Kerja BUMN Menuju Entitas Bisnis Modern
Oleh: Wahyu Gunawan
Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah yang tegas dengan mencabut program Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN. Langkah tersebut menandai dimulainya babak baru dalam transformasi kerja korporasi pelat merah menjadi entitas bisnis modern yang jauh lebih mandiri dan efisien.
Selama bertahun-tahun, PMN telah menjadi tonggak dukungan fiskal bagi berbagai BUMN, tetapi pada saat yang bersamaan justru turut membentuk adanya ketergantungan secara struktural yang semakin menghambat daya saing dan profesionalisme.
Maka dari itu, melalui adanya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2025, Presiden Prabowo secara resmi membatalkan PP Nomor 34 Tahun 2022 yang sebelumnya mengatur penambahan PMN untuk PT Waskita Karya.
Keputusan tersebut tidak hanya berdampak untuk menghentikan terjadinya praktik injeksi modal negara secara langsung ke BUMN saja, tetapi juga sekaligus mampu menjadi simbol pengalihan strategi pendanaan nasional menuju pada model yang jauh lebih berorientasi pada efisiensi dan kemandirian.
Menanggapi pencabutan PMN tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Sartono Hutomo, menyambut langkah Presiden Prabowo Subianto dengan apresiasi tinggi. Ia menilai bahwa selama ini program Penyertaan Modal Negara memang telah membuat sebagian BUMN terbiasa hidup dalam zona nyaman, sehingga mereka cenderung terlalu bergantung pada APBN, dan minim insentif untuk berbenah.
Menurut Sartono, kebijakan itu justru semakin membebani anggaran negara, padahal dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan oleh pemerintah untuk membenahi sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan.
Ia menegaskan bahwa BUMN perlu menunjukkan kapasitas manajerial, kemudian juga harus mampu menghasilkan laba dan dividen yang signifikan, serta menjadi motor penggerak bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga mereka bukan hanya menjadi sekadar penguras fiskal saja.
Langkah pencabutan PMN juga mendapat dukungan dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang kini mengambil alih fungsi pembiayaan bagi BUMN melalui pengelolaan dana dari dividen perusahaan-perusahaan negara.
Chief Operating Officer BPI Danantara, Dony Oskaria, menegaskan bahwa ke depan suntikan modal untuk BUMN tidak lagi berasal dari APBN, melainkan dari hasil pengelolaan dana internal yang dikumpulkan dan disalurkan melalui Danantara.
Dengan mekanisme baru tersebut, maka proses pendanaan akan melalui standar seleksi yang jauh lebih ketat dan transparan dari sebelumnya untuk memastikan bahwa setiap perusahaan layak menerima investasi berdasarkan rencana bisnis yang matang dan juga sektor strategis nasional.
Dony juga menegaskan bahwa Danantara akan menerapkan parameter secara ketat dalam mengevaluasi bagaimana kelayakan perusahaan yang mengajukan suntikan modal tersebut, termasuk seperti apa kesiapan rencana bisnis dan prospek industrinya.
Ia memastikan bahwa seluruh tahapan tersebut bisa berlangsung dengan profesional dan mampu terbebas dari praktik kolusi, karena setiap pengajuan tetap harus mendapat persetujuan dari DPR.
Hal ini diharapkan akan semakin memperkuat integritas sistem pendanaan dan sekaligus juga menjauhkan praktik moral hazard yang selama ini terus saja membayangi pola suntikan fiskal ke BUMN.
Sejalan dengan visi transformasi yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo tersebut, CEO Danantara, Rosan Roeslani, menjelaskan bahwa pencabutan PMN merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk semakin meningkatkan peran investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Rosan, investasi turut menyumbang hampir sepertiga dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sehingga diperlukan adanya tata kelola yang jauh lebih modern dan fleksibel agar potensi ekonomi nasional dapat terus diakselerasi.
Ia menyebutkan bahwa Danantara mengelola dana sekitar Rp150 triliun dari dividen BUMN, yang akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek strategis nasional berkelanjutan, kemudian juga mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan memperbesar daya tarik investasi asing melalui efek pengganda.
Langkah Prabowo dinilai sejumlah pihak sebagai koreksi terhadap kebijakan masa lalu. Data menunjukkan bahwa selama satu dekade pemerintahan sebelumnya, PMN yang disalurkan ke BUMN melonjak tajam, dari Rp46,98 triliun di era Presiden SBY menjadi lebih dari Rp355 triliun di era Presiden Jokowi.
Sayangnya, lonjakan tersebut tidak selalu diiringi dengan perbaikan kinerja korporasi, bahkan menyisakan persoalan utang, tata kelola yang lemah, dan dugaan penyalahgunaan dana seperti yang terjadi pada beberapa BUMN karya.
Peneliti dari Next Policy, Dwi Raihan, turut menilai keputusan pemerintah mencabut PMN sebagai langkah progresif yang patut diapresiasi. Menurutnya, kebijakan ini mendorong BUMN menjadi lebih mandiri dan inovatif, sekaligus menekan risiko moral hazard dalam pengelolaan keuangan negara.
Raihan juga menyoroti ketimpangan kinerja antar-BUMN, di mana sebagian besar masih menghadapi hambatan struktural meski telah menerima injeksi modal besar. Ia menekankan pentingnya profesionalisme manajemen dan pembebasan BUMN dari kepentingan politik agar bisa optimal dalam berkontribusi terhadap pendapatan negara.
Dalam konteks yang lebih luas, pencabutan PMN sekaligus menjadi landasan bagi Indonesia untuk meninggalkan pola subsidi korporat yang tidak efisien. BUMN tidak boleh lagi berfungsi sebagai beban fiskal, melainkan harus berdiri sebagai entitas kompetitif dan strategis yang mampu menciptakan nilai jangka panjang. Melalui mekanisme pendanaan berbasis investasi dan akuntabilitas tinggi, transformasi BUMN menuju entitas bisnis modern akhirnya menemukan pijakan yang lebih kuat. (*)
Peneliti Ekonomi dan Pembangunan – Forum Ekonomi Sejahtera Indonesia