Satgas PHK dan Program Padat Karya Ikhtiar Konkret Hadapi Gelombang PHK
Oleh: Marselino Akbar (*
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menjadi kekhawatiran besar di tengah dinamika perekonomian global dan nasional yang penuh tantangan. Perubahan lanskap industri akibat digitalisasi, perlambatan ekonomi global, serta dampak pasca-pandemi masih menyisakan ketidakpastian yang nyata di dunia ketenagakerjaan. Namun, di tengah situasi yang penuh tekanan ini, pemerintah pusat maupun daerah tidak tinggal diam. Langkah-langkah strategis telah disiapkan guna meminimalisasi dampak PHK terhadap pekerja dan stabilitas sosial ekonomi. Dua di antara strategi utama yang kini menjadi sorotan publik adalah pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK dan optimalisasi Program Padat Karya.
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menjadi salah satu kepala daerah yang secara progresif menginisiasi pembentukan Satgas PHK sebagai instrumen pencegahan PHK massal. Inisiatif ini patut diapresiasi karena mengedepankan pendekatan preventif dalam merespons persoalan ketenagakerjaan. Satgas PHK ini akan mulai bekerja saat perusahaan masuk kategori kuning, yaitu ketika mulai terlihat indikasi persoalan internal yang bisa berujung pada PHK. Ini merupakan pendekatan berbasis deteksi dini yang sangat dibutuhkan saat ini.
Lebih jauh, Satgas PHK di Jawa Tengah akan terdiri dari unsur Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, serikat pekerja, serikat buruh, hingga perwakilan pengusaha. Langkah ini mencerminkan upaya kolaboratif antar-pemangku kepentingan dalam menciptakan solusi yang tidak parsial. Dengan demikian, Satgas ini tidak hanya akan menjadi ruang negosiasi antara pekerja dan pengusaha, tetapi juga menjadi wadah konsultatif yang berperan aktif mencegah konflik industrial membesar.
Sementara itu, di sisi lain, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, juga menunjukkan kepedulian nyata terhadap potensi dampak sosial dari meningkatnya PHK. Ia mendorong agar aparat kewilayahan, mulai dari camat, lurah hingga satlinmas, ikut menjaga stabilitas sosial di wilayahnya. Pernyataan ini bukan sekadar seruan normatif, namun mencerminkan pemahaman mendalam bahwa peningkatan PHK seringkali berbanding lurus dengan meningkatnya risiko gangguan keamanan dan kriminalitas.
Farhan juga mendorong agar program padat karya kembali diaktifkan, sebagai solusi konkret jangka pendek. Program padat karya dinilai mampu menyerap tenaga kerja, khususnya masyarakat terdampak PHK, dalam kegiatan produktif yang bernilai ekonomi. Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap memiliki daya beli, serta tidak terjerumus dalam situasi kemiskinan ekstrem. Namun, efektivitas program padat karya akan sangat ditentukan oleh ketepatan sasarannya. Untuk itu, Wali Kota Bandung menekankan pentingnya memperkuat data pengangguran dan penduduk terdampak, agar kebijakan ini benar-benar menyentuh kelompok yang membutuhkan.
Dari sisi pelaku usaha, dukungan terhadap langkah-langkah antisipatif ini juga datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani. Ia menyampaikan bahwa investasi pada sektor padat karya adalah kunci dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan. Dalam jangka pendek, padat karya mampu menyerap tenaga kerja yang terdampak restrukturisasi industri. Sedangkan untuk jangka panjang, Kamdani menekankan pentingnya program reskilling dan upskilling bagi para pekerja agar mampu bertahan dalam era disrupsi industri yang cepat berubah.
Pernyataan dari tiga tokoh ini mencerminkan sinergi antara pemerintah daerah, aparat keamanan, dan dunia usaha. Sinergi ini menjadi modal penting dalam membangun ekosistem ketenagakerjaan yang lebih resilien. Kebijakan preventif melalui Satgas PHK harus dipadukan dengan kebijakan kuratif seperti program padat karya, dan ditopang dengan transformasi SDM melalui pelatihan keterampilan baru.
Tak hanya itu, dukungan regulasi dari pemerintah pusat juga semakin memperkuat inisiatif ini. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah pusat telah menyampaikan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan program padat karya melalui penganggaran APBN maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan terus memperluas jangkauan program pelatihan kerja dan pelatihan wirausaha berbasis masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan di tingkat pusat dan daerah semakin sinkron dan responsif terhadap kebutuhan nyata di lapangan.
Kita juga patut mencermati bahwa gelombang PHK bukan hanya disebabkan oleh lemahnya daya saing pekerja, namun juga oleh perubahan pola industri global. Oleh karena itu, penanganannya harus bersifat holistik. Satgas PHK tidak hanya bertugas mencegah PHK, tetapi juga dapat menjadi jembatan antara dunia usaha dan pemerintah untuk mencarikan insentif atau solusi fiskal yang memungkinkan perusahaan tetap bertahan tanpa harus memangkas tenaga kerja.
Program padat karya sendiri harus terus diperluas dan dikembangkan menjadi bagian dari strategi perlindungan sosial yang adaptif. Tidak hanya terbatas pada proyek infrastruktur ringan, program ini juga dapat diperluas pada sektor digital, lingkungan, dan ekonomi kreatif. Dengan demikian, padat karya tidak hanya menjadi solusi darurat, tetapi juga sarana transisi menuju pekerjaan yang lebih berkelanjutan.
Di tengah tantangan yang tidak mudah, pemerintah telah menunjukkan keberpihakannya terhadap nasib para pekerja. Satgas PHK dan Program Padat Karya adalah dua langkah nyata yang bukan sekadar retorika, melainkan kebijakan berbasis kebutuhan riil. Masyarakat perlu tetap optimis bahwa gelombang PHK bukanlah akhir dari segalanya. Pemerintah memiliki strategi yang konkret dan kolaboratif untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan.
Kini saatnya seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakat sipil, bergerak bersama. Dengan semangat gotong royong dan inovasi kebijakan, Indonesia tidak hanya akan mampu melewati badai PHK, tetapi juga memperkuat fondasi ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
(* Penulis merupakan pemerhati Kebijakan Ekonomi dari Urban Catalyst Consultant