UU TNI Disusun Tanpa Intimidasi dan Libatkan Partisipasi Publik Demi Menjawab Tantangan Masa Kini

Oleh: Dewi Kartinah Soedjono

Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menjadi perhatian publik usai beberapa pihak mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Namun yang perlu ditegaskan, proses penyusunan UU ini dilakukan tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak pemerintah terhadap publik, bahkan justru menjamin ruang partisipasi yang luas. Tidak hanya mengikuti seluruh tahapan yang ditentukan oleh Undang-Undang, pembentukan UU ini juga menjadi bukti bahwa dalam sistem demokrasi Indonesia, hukum dan kebijakan publik bisa dibentuk secara terbuka dan aspiratif.

Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menjelaskan bahwa revisi UU TNI bukanlah kebijakan tiba-tiba. Ia menyebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut disusun berdasarkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI), khususnya dalam menghadapi dinamika keamanan kawasan dan global. Situasi yang berkembang—baik ancaman militer, nonmiliter, hingga bentuk hibrida seperti terorisme dan serangan siber—memerlukan payung hukum yang relevan dan tangguh.

Selain itu, Supratman menekankan bahwa proses ini juga merupakan bentuk tindak lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XIX/2021. Dalam putusan itu, MK meminta adanya revisi UU TNI untuk menjawab kebutuhan hukum yang lebih pasti dalam hal usia pensiun dan pengaturan peran TNI. Hal ini menjadi indikator bahwa perubahan UU TNI bukanlah produk manipulasi kekuasaan, melainkan bagian dari proses konstitusional yang sah.

Proses perencanaan RUU ini pun dilakukan dengan mengikuti semua ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Pemerintah memulai langkah ini dengan menjaring aspirasi publik melalui forum diskusi kelompok terpumpun (FGD) sejak tahun 2023. Diskusi ini digelar oleh Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Aspirasi yang terkumpul dari diskusi tersebut kemudian menjadi bahan dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TNI.

Tahap penyusunan selanjutnya dilakukan sesuai prosedur, termasuk melalui koordinasi lintas kementerian yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Surat resmi dari DPR RI yang dikirim pada Mei 2024 menjadi dasar formil yang memperkuat legalitas proses ini. Pembahasan pun dilakukan dua tingkat, yaitu pembicaraan tingkat I di Komisi I DPR RI dan pembicaraan tingkat II di rapat paripurna.

Lebih lanjut, Supratman menjelaskan bahwa pengesahan dan pengundangan UU dilakukan pada 26 Maret 2025. Ia menekankan bahwa seluruh proses telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat bukan sekadar formalitas, tetapi disediakan secara terbuka, di mana masyarakat dapat menyampaikan masukan secara proaktif tanpa harus diundang secara resmi.

Penjelasan tersebut membantah tudingan bahwa pembentukan UU ini dilakukan secara tertutup atau otoriter. Pemerintah justru menyediakan akses luas bagi publik, termasuk melalui forum dengar pendapat, penyebarluasan informasi, dan pelibatan akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta kementerian dan lembaga terkait.

Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, juga memperkuat narasi keterbukaan dan legalitas tersebut. Ia menyatakan bahwa revisi UU TNI telah masuk dalam Prolegnas 2025 setelah mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR RI pada 18 Februari 2025. Proses politik antara Presiden dan DPR RI yang dituangkan dalam Surat Presiden Nomor R-12/Pres/02/2025 menjadi dasar hukum lanjutan pembahasan RUU ini.

Utut menambahkan bahwa berdasarkan Pasal 71A UU P3, pembahasan RUU dapat dilanjutkan oleh DPR dan Pemerintah periode berikutnya tanpa harus memulai proses dari awal. Ini menegaskan bahwa kesinambungan pembahasan telah mendapatkan legitimasi hukum yang kuat dan bukan produk dari rekayasa kekuasaan sesaat.

Meski demikian, sejumlah pemohon uji formil, seperti yang tercantum dalam Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 75/PUU-XXIII/2025, menganggap UU ini tidak memenuhi prinsip efektivitas dan partisipasi publik. Mereka menyebutkan bahwa pelibatan TNI dalam lembaga sipil dan perpanjangan usia pensiun tidak memiliki korelasi yang logis dengan keutuhan dan kedaulatan negara.

Namun, argumen tersebut patut dikaji lebih objektif. Pelibatan prajurit TNI dalam sektor-sektor tertentu telah dikaji dalam FGD dan uji publik yang terbuka. Begitu pula perpanjangan usia pensiun dilakukan bukan semata demi individu, melainkan untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan dan efektivitas kelembagaan dalam konteks ancaman multidimensi yang dihadapi Indonesia saat ini.

Pemerintah dalam hal ini tidak pernah menutup ruang dialog publik. Justru, keberadaan forum-forum uji publik dan pertemuan-pertemuan akademik menjadi bukti bahwa UU ini tidak dibuat secara tergesa-gesa atau sepihak. Mekanisme partisipatif telah dibuka luas, dan digunakan atau tidaknya kesempatan tersebut sepenuhnya berada di tangan masyarakat.

Tuduhan bahwa pembentukan UU TNI sarat kepentingan elitis dan menjauhkan rakyat dari proses legislasi adalah asumsi yang tidak mencerminkan realitas faktual. Kritik tetap penting dalam demokrasi, namun harus dilandasi oleh bukti dan pemahaman hukum yang tepat. Dalam kasus ini, semua tahapan pembentukan UU telah dijalankan sesuai prinsip rule of law, keterbukaan, dan keterlibatan publik.

Dengan demikian, Undang-Undang TNI Tahun 2025 adalah produk hukum yang sah, partisipatif, dan menjawab kebutuhan nasional. Kehadirannya bukanlah bentuk penguatan kekuasaan otoriter, tetapi refleksi dari sistem demokrasi yang mampu merespons tantangan zaman dengan bijak. Partisipasi masyarakat telah dilakukan sejak awal, dan prosesnya telah memenuhi ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Maka, sudah sepatutnya publik melihat UU ini sebagai buah dari kerja bersama antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sipil dalam membangun Indonesia yang lebih tangguh di masa depan.

*) Pengamat Hukum dan Tata Negara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *