Komitmen Pemerintah Menjaga Keseimbangan Ekologis dan Investasi di Raja Ampat

Oleh : Rizky Pratama Nugraha )*

Isu pertambangan di Raja Ampat kembali menjadi p publerhatianik dalam beberapa pekan terakhir. Merespons perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan, pemerintah menunjukkan kesigapan melalui serangkaian langkah preventif dan evaluatif. Keputusan menghentikan sementara aktivitas tambang, menyegel operasi ilegal, serta mengevaluasi izin usaha pertambangan mencerminkan kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Raja Ampat dikenal sebagai kawasan dengan nilai ekologis yang sangat tinggi. Selain menjadi destinasi wisata kelas dunia, wilayah ini juga merupakan rumah bagi berbagai spesies laut dan ekosistem yang belum banyak tersentuh. Keberadaannya bukan sekadar kebanggaan lokal, melainkan simbol kekayaan hayati Indonesia yang menjadi perhatian internasional. Dalam konteks ini, setiap aktivitas pembangunan di wilayah tersebut tentu memerlukan kehati-hatian ekstra.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara operasional tambang nikel yang dilakukan PT Gag Nikel di Pulau Gag. Meskipun tambang berada cukup jauh dari kawasan wisata utama, pemerintah tetap memprioritaskan perlindungan ekologis melalui evaluasi lapangan. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan verifikasi lapangan sebelum melanjutkan aktivitas menunjukkan upaya serius menjaga integritas lingkungan.

Tindakan ini bukan bentuk penolakan terhadap investasi, melainkan bentuk pengelolaan risiko yang bijak. Aktivitas pertambangan merupakan bagian dari strategi pemanfaatan sumber daya alam nasional. Namun, keberlanjutan dan tata kelola lingkungan harus menjadi landasan utama dalam setiap keputusan. Maka, evaluasi menyeluruh terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang sedang dilakukan menjadi bagian penting dari penguatan sistem pengawasan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup juga telah melakukan pengawasan sejak akhir Mei. Fokusnya adalah menilai kembali persetujuan lingkungan dari perusahaan tambang terkait dan memastikan seluruh aktivitas sesuai dengan ketentuan hukum. Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa pencabutan izin akan dilakukan bila ditemukan pelanggaran yang membahayakan ekosistem. Ini adalah sinyal bahwa prinsip kehati-hatian berjalan seiring dengan penegakan hukum.

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan yang diambil pemerintah tidak bersifat represif, melainkan korektif. Kebijakan penghentian sementara tambang ditujukan untuk mencegah dampak lanjutan sembari membuka ruang klarifikasi dan verifikasi. Dalam jangka panjang, langkah ini membantu memastikan bahwa investasi yang berjalan memiliki dasar legal, etis, dan ekologis yang kuat.

Sejumlah tokoh nasional juga turut menyuarakan pentingnya kehati-hatian dalam menyikapi aktivitas pertambangan di kawasan strategis. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, misalnya, menekankan pentingnya melindungi keindahan alam dan situs-situs bersejarah dari potensi gangguan akibat aktivitas industri. Pandangan seperti ini memperkuat posisi bahwa perlindungan lingkungan adalah kepentingan bersama, bukan semata ranah pemerintah.

Respons cepat pemerintah ini juga mencerminkan kemampuan adaptif dalam menghadapi dinamika kebijakan publik. Koordinasi antarkementerian, termasuk dengan Sekretariat Kabinet, menunjukkan bahwa isu ini ditangani secara menyeluruh di level pengambilan keputusan strategis. Komunikasi yang intensif antara berbagai institusi mengindikasikan bahwa langkah-langkah yang diambil bukan keputusan sepihak, melainkan hasil dialog dan pertimbangan mendalam.

Pulau-pulau kecil seperti Gag memang memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan pembangunan. Dengan daya dukung lingkungan yang terbatas, setiap bentuk eksploitasi harus ditimbang dengan cermat. Maka, evaluasi izin di kawasan tersebut menjadi langkah penting untuk menyesuaikan kembali rencana investasi dengan karakteristik lingkungan lokal. Ini bukan upaya menghentikan kemajuan, melainkan membentuk pola pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Dalam skema besar pembangunan nasional, peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa sumber daya alam harus dikelola secara bertanggung jawab. Pemerintah telah memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi tidak harus bertentangan dengan perlindungan lingkungan. Justru dengan menjaga alam, potensi ekonomi jangka panjang seperti pariwisata dan jasa lingkungan akan semakin kuat.

Kebijakan yang diambil dalam kasus ini menjadi refleksi dari arah pembangunan Indonesia ke depan. Negara tidak anti terhadap pertambangan, tetapi memegang teguh prinsip bahwa semua aktivitas harus berpihak pada masa depan yang berkelanjutan. Ketegasan terhadap perizinan bukan sekadar upaya penertiban administratif, tetapi bagian dari reformasi tata kelola sumber daya alam.

Langkah cepat pemerintah dalam merespons polemik pertambangan di Raja Ampat patut diapresiasi. Pendekatan yang berimbang antara kepentingan lingkungan dan investasi memperlihatkan kematangan dalam pengambilan kebijakan. Dengan terus memperkuat koordinasi lintas sektor, membuka ruang evaluasi objektif, dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, potensi benturan antara pembangunan dan lingkungan dapat diminimalkan. Langkah-langkah ini menjadi cerminan bahwa arah pembangunan Indonesia menuju masa depan yang lebih bijak, adil, dan lestari.

Komitmen pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kelestarian alam dan pertumbuhan ekonomi di Raja Ampat merupakan wujud nyata dari visi pembangunan yang berkelanjutan. Di tengah tekanan global terhadap isu perubahan iklim dan degradasi lingkungan, langkah tegas dan terukur yang diambil pemerintah menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya responsif, tetapi juga proaktif dalam melindungi aset ekologi nasional. Dengan sinergi lintas kementerian dan partisipasi masyarakat, diharapkan kebijakan serupa dapat menjadi standar dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah strategis lainnya.

)* Penulis merupakan pengamat lingkungan

Pemerintah Tegaskan Komitmen Jaga Ekologi dan Investasi Berkelanjutan di Raja Ampat

PAPUA BARAT – Pemerintah terus memantau perkembangan isu pertambangan di Raja Ampat sebagai bentuk komitmen menjaga lingkungan di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap aspek ekologi. Merespons hal tersebut, pemerintah bergerak cepat mengambil langkah korektif demi memastikan bahwa keseimbangan antara pelestarian ekologi dan investasi tetap terjaga secara adil dan proporsional.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyatakan penghentian sementara operasional tambang nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah.

“Evaluasi izin dan verifikasi lapangan menjadi prioritas agar aktivitas pertambangan tidak merusak ekosistem yang ada,” tegas Bahlil Lahadalia.

Langkah ini memperlihatkan sikap pemerintah yang tidak anti terhadap investasi, tetapi mengedepankan prinsip keberlanjutan. Pulau Gag sebagai bagian dari Raja Ampat memiliki nilai ekologis tinggi dan merupakan kawasan strategis yang telah menjadi perhatian utama pemerintah dalam setiap kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, keputusan ini menjadi bentuk manajemen risiko yang tepat dan bertanggung jawab.

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa pengawasan intensif telah dilakukan sejak akhir Mei, khususnya terhadap persetujuan lingkungan perusahaan tambang.

“Jika ditemukan pelanggaran yang membahayakan ekosistem, maka izin usaha bisa dicabut,” pungkas Hanif Faisol Nurofiq.

Langkah ini bukan sekadar penegakan hukum administratif, tetapi mencerminkan pendekatan reformatif terhadap tata kelola sumber daya alam. Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh aktivitas ekonomi berjalan sesuai aturan dan tidak mengorbankan lingkungan yang menjadi aset jangka panjang bangsa.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga menegaskan pentingnya menjaga keutuhan alam dan warisan budaya di wilayah tersebut.

“Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga cagar budaya dan sejarah yang harus dilindungi dari dampak industri,” ujar Fadli Zon.

Koordinasi antarkementerian dan keterlibatan masyarakat menunjukkan bahwa penanganan isu ini dilakukan secara menyeluruh dan inklusif. Pemerintah tidak hanya responsif terhadap tekanan publik, tetapi juga proaktif dalam membentuk standar tata kelola sumber daya yang lebih etis dan lestari.

Komitmen ini menjadi penegasan bahwa arah pembangunan Indonesia ke depan mengedepankan prinsip keberlanjutan, integritas lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi yang saling menguatkan. (^)

Pemerintah Prioritaskan Keberlanjutan di Raja Ampat: Investasi Tetap, Lingkungan Terjaga

PAPUA BARAT – Pemerintah menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, khususnya di kawasan strategis seperti Raja Ampat. Langkah penghentian sementara kegiatan tambang oleh PT Gag Nikel menjadi sinyal bahwa setiap investasi harus tunduk pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan ekologis.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pemerintah tidak mengambil risiko dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah sensitif. “Meski tambang berada jauh dari kawasan wisata utama, kami tetap melakukan verifikasi di lapangan agar tidak ada celah bagi kerusakan lingkungan,” ujar Bahlil Lahadalia.

Verifikasi dan evaluasi izin usaha pertambangan dilakukan secara menyeluruh. Langkah ini bukan bentuk penolakan investasi, tetapi upaya menciptakan iklim investasi yang sehat dan bertanggung jawab. Pemerintah menyelaraskan kontribusi sektor tambang terhadap ekonomi nasional dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati secara berimbang.

Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa pendekatan pemerintah bersifat preventif dan solutif. “Kami siap mencabut izin usaha jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan,” tegas Hanif Faisol Nurofiq.

Langkah tersebut mencerminkan keseriusan dalam memperbaiki tata kelola perizinan, serta mencegah dampak jangka panjang terhadap wilayah yang memiliki daya dukung terbatas seperti Pulau Gag. Dengan mempertimbangkan karakteristik lokal, evaluasi izin menjadi wujud adaptasi kebijakan terhadap kebutuhan kawasan.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon turut menyoroti pentingnya mempertahankan kekayaan budaya dan keindahan alam Raja Ampat dari potensi kerusakan akibat aktivitas industri.

“Pemerintah berkomitmen memastikan bahwa situs sejarah dan lanskap alam tetap terlindungi dalam setiap aktivitas investasi,” tambah Fadli Zon.

Koordinasi lintas kementerian dan pendekatan partisipatif memperkuat legitimasi kebijakan yang diambil. Pemerintah memastikan bahwa keputusan ini bukan hanya respons terhadap tekanan publik, melainkan bagian dari arah pembangunan nasional yang berbasis etika lingkungan.

Dengan langkah ini, pemerintah tidak hanya menjaga warisan ekologi, tetapi juga menciptakan fondasi yang kokoh bagi investasi jangka panjang yang lebih beretika dan berkelanjutan. Raja Ampat pun tetap menjadi simbol harmoni antara alam dan pembangunan.
[^]

Program MBG Catatkan Prestasi Gemilang, Pemerintah Daerah Berlomba Sediakan Lahan

Oleh: Esti Kumalasari )*

Pemerintah melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan komitmen kuat dalam menciptakan generasi masa depan yang sehat dan berkualitas. Namun, sebagaimana program strategis nasional lainnya, pelaksanaan MBG tidak hanya membutuhkan semangat dan regulasi, tetapi juga kesiapan infrastruktur di tingkat daerah, terutama dalam hal penyediaan lahan untuk mendukung berdirinya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dalam konteks inilah, penyediaan lahan menjadi titik krusial bagi percepatan keberhasilan program MBG.

Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komjen Pol Tomsi Tohir, menegaskan pentingnya partisipasi aktif seluruh pemerintah daerah (Pemda) dalam mempercepat proses identifikasi dan penyediaan lahan. Menurutnya, percepatan pengumpulan data lahan sangat penting agar pelaksanaan program MBG di berbagai daerah dapat segera terealisasi secara merata. Dari data tersebut akan dicek mana lahan yang layak dan mana yang tidak layak untuk kemudian diserahkan ke Badan Gizi Nasional (BGN).

Pernyataan tersebut menggambarkan adanya sistem kerja yang sistematis, terukur, dan terkoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah tidak hanya berhenti pada pengumuman program, tetapi juga membangun ekosistem implementasi yang kuat. Penekanan pada kualitas lahan yang diajukan oleh pemerintah daerah juga menunjukkan bahwa program ini tidak asal-asalan. Proses verifikasi akan menjadi penyaring penting agar SPPG benar-benar dibangun di tempat yang strategis, produktif, dan mudah dijangkau masyarakat.

Langkah nyata telah ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel, Jufri Rahman, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan 92 titik lahan untuk pembangunan SPPG, melebihi target awal dari pemerintah pusat yang hanya menetapkan 84 titik. Ini bukan sekadar angka, tetapi bentuk nyata dari kesiapan dan komitmen pemerintah daerah dalam menyukseskan program nasional. Dengan jumlah tersebut, kesiapan Pemprov Sulsel dalam mendukung program strategis nasional MBG telah mencapai 100 persen.

Namun demikian, Jufri juga mengingatkan bahwa seluruh lahan yang diajukan tetap harus melalui proses verifikasi dari pemerintah pusat. Artinya, Pemprov Sulsel tidak hanya mengedepankan kuantitas, tetapi juga memperhatikan kualitas dan kesesuaian fungsi lahan terhadap tujuan program. Pendekatan seperti ini patut diapresiasi dan dijadikan teladan bagi daerah lain di Indonesia.

Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, juga telah memberikan arahan yang jelas: setiap kepala daerah diminta mengusulkan minimal tiga titik lokasi tanah di wilayah masing-masing. Arahan ini memiliki dimensi strategis yang penting, yakni membangun basis data awal dan memastikan bahwa setiap wilayah memiliki opsi yang dapat segera ditindaklanjuti. Langkah ini diharapkan dapat membantu mengatasi keterbatasan jangkauan BGN, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Pendekatan ini sejalan dengan semangat inklusivitas pembangunan nasional. Program MBG tidak boleh hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan atau daerah maju, melainkan harus menjangkau seluruh anak bangsa, termasuk di wilayah 3T. Dalam kerangka inilah, penyediaan lahan menjadi fondasi dasar untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pemenuhan hak gizi.

Peran aktif pemerintah daerah menjadi sangat sentral dalam pelaksanaan program ini. Mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi geografis, sosial, dan demografis wilayah masing-masing. Karena itu, keterlibatan aktif dan responsif dari para kepala daerah menjadi syarat mutlak agar program ini bisa berjalan optimal. Selain itu, sinergi antar-instansi, mulai dari dinas pertanahan, perencanaan pembangunan daerah, hingga dinas kesehatan dan pendidikan, perlu diperkuat.

Tantangan yang mungkin muncul seperti sengketa lahan, status tanah yang belum bersertifikat, atau lokasi yang kurang strategis, harus diantisipasi sejak awal. Dalam hal ini, peran Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, dan BGN menjadi krusial dalam memberikan asistensi teknis dan kebijakan yang mendukung kelancaran penyediaan lahan.

Selain itu, pendekatan multisektor juga perlu dikedepankan. Lahan yang disediakan untuk SPPG bisa diintegrasikan dengan program pertanian lokal, pemberdayaan masyarakat, dan program penanggulangan stunting. Dengan begitu, keberadaan SPPG tidak hanya berfungsi sebagai dapur layanan gizi, tetapi juga sebagai simpul pemberdayaan ekonomi lokal.

Dalam perspektif kebijakan publik, penyediaan lahan untuk MBG adalah langkah preventif dan promotif yang sangat strategis. Ini adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup, adalah upaya menyelamatkan masa depan bangsa.

Pemerintah telah menyalakan obor semangat dalam menghadirkan keadilan gizi bagi seluruh anak bangsa melalui program MBG. Namun, cahaya dari obor itu hanya akan menjangkau lebih luas jika seluruh elemen bangsa turut serta menyalakan lentera-lentera kecil di sekitarnya.

Sudah saatnya semua pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, akademisi, hingga masyarakat bergandengan tangan dalam memastikan ketersediaan lahan yang layak dan strategis bagi berdirinya SPPG di seluruh penjuru Indonesia. Mari kita dukung bersama program MBG dengan langkah nyata, karena masa depan Indonesia yang sehat dimulai dari piring makan anak-anak kita hari ini.

)* Penulis merupakan Pengamat kebijakan publik

Keberadaan Apotek Desa Perluas Akses Masyarakat pada Layanan Kesehatan

Oleh : Lina Sutrisno )*

Pemerintah memperluas cakupan layanan kesehatan melalui Apotek Desa sebagai strategi nasional mewujudkan sistem kesehatan lebih inklusif. Program ini representasi nyata komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam menjamin hak kesehatan masyarakat hingga ke pelosok Nusantara.

Dengan mendorong pemerataan akses farmasi dan pelayanan medis, Apotek Desa mengisi kekosongan layanan kesehatan di wilayah terpencil yang belum terjangkau sistem kesehatan nasional secara menyeluruh.

Langkah ini bukan hanya pendekatan teknokratis, tetapi juga bentuk nyata kehadiran negara di desa. Presiden Prabowo menyampaikan tiap desa di Indonesia akan memiliki apotek dengan harga obat terjangkau masyarakat.

Hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah menghadirkan sistem kesehatan yang membumi dan menyentuh kebutuhan warga secara langsung, bukan sekadar proyek administratif semata.

Apotek Desa bukanlah fasilitas statis. Keberadaannya didesain sebagai titik integrasi antara edukasi kesehatan masyarakat, distribusi obat yang terstandar, dan penguatan sistem layanan primer.

Melalui sinergi antara tenaga kefarmasian yang terlatih, fasilitas ini terhubung dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta puskesmas dan pos kesehatan desa. Kehadiran Apotek Desa membuka ruang kolaboratif antarlembaga kesehatan di tingkat lokal, mempermudah koordinasi serta pelaksanaan layanan preventif dan kuratif.

Kementerian Kesehatan menilai pentingnya mengintegrasikan Apotek Desa dengan unit pelayanan kesehatan di desa dan kelurahan, sekaligus menjadikan fasilitas tersebut sebagai bagian dari Koperasi Desa Merah Putih.

Dalam kerangka regulasi yang disiapkan pemerintah, fasilitas ini tidak sekadar menjual obat, tetapi turut menjalankan fungsi ekonomi berbasis sosial melalui koperasi. Peran ini memungkinkan Apotek Desa beroperasi secara berkelanjutan dengan model bisnis inklusif yang memberdayakan masyarakat lokal.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan bahwa Indonesia sudah memiliki infrastruktur dasar untuk menunjang pelaksanaan program Apotek Desa. Yang masih dibutuhkan adalah penambahan sumber daya manusia serta penyempurnaan layanan dan regulasi pendukung.

Budi menyatakan bahwa tenaga mantri, perawat, dan tenaga kefarmasian cukup sebagai fondasi awal untuk menjalankan fungsi apotek secara optimal. Ditambah penguatan layanan sederhana seperti penanganan penyakit ringan—batuk, diare, dan gangguan pencernaan—maka Apotek Desa sudah dapat berfungsi penuh sebagai titik awal layanan kuratif.

Dari sekitar 83.000 desa di Indonesia, sebanyak 29.000 desa masih membutuhkan penguatan Unit Pelayanan Kesehatan Desa/Kelurahan (UPKD/K). Sementara itu, terdapat sekitar 5.830 unit UPKD/K yang mengalami kerusakan berat dan harus ditangani secara bertahap.

Kementerian Kesehatan telah menyiapkan skema pembangunan dengan alokasi anggaran sebesar Rp700 miliar pada 2025, cukup untuk membangun sekitar 700 klinik dan apotek desa yang terintegrasi. Estimasi biaya untuk setiap unit mencapai Rp1 miliar, mencakup bangunan dan kelengkapan fasilitas.

Tak berhenti pada penyediaan infrastruktur, Kementerian Kesehatan bersama kementerian teknis lainnya sedang menyusun model bisnis yang berkelanjutan. Kementerian Koperasi, Kementerian Desa, dan Kementerian Dalam Negeri dilibatkan secara aktif dalam pengaturan regulasi dan kelembagaan.

Tujuannya, menciptakan unit layanan kesehatan yang memiliki kekuatan legal, pendanaan, serta fungsi sosial yang kuat di level akar rumput. Ketika aset, anggaran, dan sumber daya telah tersedia, maka percepatan hanya bergantung pada ketepatan regulasi dan implementasi.

Di sisi lain, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri Roestam, menyebut bahwa Apotek Desa adalah gagasan brilian yang sangat strategis dalam menjawab persoalan klasik pemerataan akses kesehatan.

Noffendri menegaskan bahwa keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh kualitas pengelolaan dan keseriusan pelaksanaannya di lapangan. Apotek Desa harus menjadi solusi nyata, bukan proyek simbolik yang akhirnya mangkrak atau tidak termanfaatkan maksimal.

Noffendri juga menambahkan bahwa IAI siap mendukung penuh pelaksanaan program melalui penyiapan tenaga apoteker yang kompeten. Ia menyambut baik pendekatan Menteri Kesehatan yang lebih memilih mengoptimalkan 54.000 sarana kesehatan yang sudah ada, seperti puskesmas dan posyandu, tanpa menciptakan regulasi baru yang kompleks. Menurutnya, sinergi antara optimalisasi infrastruktur yang ada dan penambahan fasilitas baru seperti Apotek Desa dapat mempercepat pencapaian tujuan nasional di bidang kesehatan.

Dalam konteks pemerataan pembangunan dan keadilan sosial, Apotek Desa merepresentasikan wajah baru negara yang hadir secara konkret untuk rakyat. Dengan memperluas akses masyarakat desa terhadap obat-obatan dan edukasi kesehatan, program ini mampu menjembatani kesenjangan layanan yang selama ini dirasakan masyarakat luar perkotaan. Fasilitas yang dulu hanya bisa diakses di kota besar kini perlahan hadir di tengah-tengah masyarakat desa, menjangkau mereka yang sebelumnya tercecer dari sistem.

Kekuatan utama dari program Apotek Desa terletak pada pendekatan multisektor yang digunakan pemerintah. Penggabungan peran kesehatan, koperasi, dan kelembagaan lokal menjadi fondasi program yang tidak hanya bertahan jangka pendek, tetapi mampu bertransformasi sebagai sistem pelayanan desa yang adaptif dan produktif. Sistem ini bukan hanya mendorong kesehatan publik, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi mikro berbasis kesehatan masyarakat.

Melalui keberadaan Apotek Desa, visi besar Presiden Prabowo Subianto dalam menciptakan pemerataan dan keadilan sosial tidak lagi sekadar wacana, melainkan sebuah proses konkret yang terus bergerak.

Dengan desain yang tepat dan pengawasan yang kuat, Apotek Desa bukan hanya memperluas akses layanan kesehatan, melainkan menguatkan ketahanan sosial desa di tengah tantangan zaman.

)* Staf Pelayanan Masyarakat – Yayasan Bakti Sosial Nusantara

Distribusi MBG Dipercepat, Bukti Negara Hadir Lindungi Rakyat

Oleh: Meliana Kede )*

Upaya percepatan distribusi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali digencarkan oleh pemerintah dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai langkah konkret telah dilakukan untuk memastikan program ini tersalurkan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan. Melalui kerja sama lintas lembaga, koordinasi yang intensif di lapangan, serta penyesuaian teknis di berbagai daerah, program MBG diarahkan agar lebih tepat sasaran dan efisien dalam pelaksanaannya.

Distribusi bantuan MBG ini ditujukan untuk mengurangi angka stunting, meningkatkan kualitas gizi masyarakat, serta menjaga ketahanan pangan di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah. Dengan pendekatan yang terstruktur dan berdasarkan data lapangan yang valid, proses penyaluran bantuan difokuskan kepada keluarga prasejahtera, ibu hamil, balita, dan kelompok rentan lainnya.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengatakan bahwa rancangan Instruksi Presiden (Inpres) yang bertujuan mempercepat pelaksanaan Program MBG sudah selesai dan kini berada di Sekretariat Negara (Setneg). Inpres tersebut tinggal menunggu pengesahan Presiden Prabowo Subianto, dan pembahasannya telah melibatkan kementerian dan lembaga terkait sebagai bagian dari upaya harmonisasi kebijakan. BGN berharap kebijakan ini dapat segera diterapkan untuk menjawab tantangan serius dalam sektor gizi masyarakat.

Menurut Dadan, kolaborasi antara berbagai lembaga seperti Badan Pangan Nasional (Bapanas), yang merumuskan kebijakan mengenai keamanan dan mutu pangan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bertugas mengawasi keamanan pangan dan melakukan uji laboratorium apabila terjadi kejadian luar biasa (KLB), adalah langkah yang sangat penting untuk memastikan keberhasilan Program MBG. Dadan menekankan bahwa harmonisasi antara lembaga-lembaga ini menjadi kunci agar program yang akan segera berjalan dapat memenuhi tujuan utamanya: memberikan makanan bergizi secara merata dan tepat sasaran kepada mereka yang paling membutuhkan.

Kementerian terkait telah mengalokasikan anggaran yang memadai serta menetapkan skema penyaluran berbasis wilayah. Setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengelola proses teknis pendistribusian, namun tetap dalam pengawasan pusat agar tidak terjadi penyimpangan atau keterlambatan. Selain itu, pengawasan berbasis digital juga telah diterapkan, di mana sistem pelaporan daring digunakan untuk memantau setiap tahap penyaluran bantuan. Dengan sistem ini, transparansi dan akuntabilitas dijaga, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap program ini terus meningkat.

Penyaluran bantuan dilakukan tanpa menggunakan figur publik atau Key Opinion Leader (KOL), dengan tujuan menjaga fokus pada substansi program dan bukan pada aspek promosi. Pemerintah meyakini bahwa keberhasilan suatu kebijakan sosial lebih ditentukan oleh efektivitas pelaksanaannya, bukan oleh seberapa sering program tersebut disorot di media sosial. Oleh karena itu, strategi komunikasi yang digunakan lebih mengandalkan informasi dari kanal resmi pemerintahan serta laporan dari masyarakat secara langsung.

Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tomsi Tohir, mengatakan untuk mempercepat penyediaan lahan demi kelancaran pelaksanaan program MBG adalah langkah yang sangat relevan dan tepat waktu. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan memperbaiki gizi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan, ketersediaan lahan menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikan. Keberhasilan Program MBG tidak hanya bergantung pada penyediaan makanan bergizi, tetapi juga pada bagaimana distribusi bantuan ini dapat dilakukan secara efektif dan merata ke seluruh daerah, termasuk wilayah yang terpencil dan sulit dijangkau.

Tomsi menegaskan bahwa setiap pemerintah daerah (Pemda) harus memastikan bahwa mereka memiliki akses yang cukup terhadap lahan yang diperlukan untuk menunjang distribusi bantuan makanan. Instruksi ini sangat penting, mengingat dalam program sebesar MBG yang melibatkan distribusi pangan ke jutaan masyarakat, masalah logistik dan infrastruktur menjadi tantangan yang harus dihadapi. Tanpa adanya akses yang memadai terhadap lahan dan fasilitas distribusi yang baik, pelaksanaan program ini akan terhambat, bahkan mungkin tidak dapat berjalan dengan optimal.

Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menjelaskan mengenai masalah-masalah yang ditemukan dalam distribusi makanan program MBG menunjukkan pentingnya pengawasan ketat terhadap kualitas dan prosedur produksi pangan dalam program nasional ini. Dalam beberapa kasus yang telah ditemukan, masalah muncul karena makanan dimasak terlalu cepat dan didistribusikan dengan lambat, serta hasil inspeksi menunjukkan adanya dapur yang tidak memenuhi standar. Hal ini menggarisbawahi bahwa meskipun niat program ini sangat mulia untuk meningkatkan gizi masyarakat, implementasi teknisnya membutuhkan perhatian yang lebih mendalam, terutama dalam hal keamanan pangan.

Program MBG merupakan salah satu bukti nyata bahwa negara hadir dan peduli terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat. Dengan melibatkan seluruh elemen pemerintahan dari pusat hingga daerah, serta memastikan proses distribusi dilakukan secara adil dan tepat sasaran, pemerintah berupaya menjaga kepercayaan publik sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui langkah-langkah konkret.

Komitmen untuk terus memperbaiki dan mempercepat pelaksanaan program ini menjadi fokus utama, dengan harapan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dapat meningkat setiap harinya. Pemerintah percaya bahwa dengan kerja keras dan kolaborasi yang kuat, Program MBG dapat menjadi pilar penting dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

)* Penulis merupakan seorang Pengamat Ekonomi Kerakyatan

Berbagai Pihak Dukung Program Apotek Desa sebagai Gagasan Presiden Prabowo

Oleh: Citra Indriani Putri )*

Gagasan Presiden Prabowo Subianto dalam membentuk Apotek Desa melalui skema Koperasi Merah Putih berhasil menarik dukungan secara luas dari berbagai pihak. Dukungan tersebut bukan hanya sebagai bentuk apresiasi terhadap visi Kepala Negara dalam memperluas akses pasa layanan kesehatan saja, tetapi juga sebagai langkah konkret untuk terus memperkuat peran para apoteker dalam sistem pelayanan primer, khususnya di wilayah pedesaan dan kelurahan.

Program Apotek Desa secara resmi tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Inpres tersebut menetapkan bahwa koperasi desa akan menjalankan sejumlah kegiatan strategis, salah satunya adalah pendirian Apotek Desa/Kelurahan yang tersebar di lebih dari 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Hal ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam membangun layanan kesehatan yang jauh lebih merata dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, terutama mereka yang berada jauh dari fasilitas kesehatan konvensional dan berada di wilayah terpencil hingga pelosok sekalipun.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), apt. Noffendri Roestam, menyambut baik gagasan tersebut. Menurutnya, Apotek Desa mampu menjadi jembatan penting dalam menghadirkan pelayanan farmasi yang berkualitas dan terjangkau langsung ke tingkat desa. Ia menilai ide itu sebagai langkah brilian yang secara langsung menjawab kebutuhan mendesak masyarakat pedesaan terhadap akses obat yang aman, legal, dan terkendali.

Pihak IAI secara strategis mengarahkan perhatiannya pada aspek implementasi program tersebut. Apt. Noffendri menekankan pentingnya tata kelola yang baik agar pelaksanaan Apotek Desa tidak berhenti pada wacana atau pembangunan fisik semata, tetapi benar-benar berfungsi secara optimal dan berkelanjutan. Ia mengingatkan bahwa setiap inisiatif yang tidak ditopang oleh manajemen yang matang berisiko mangkrak di tengah jalan.

Dalam upaya mendukung efektivitas program, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menegaskan bahwa regulasi baru tidak diperlukan. Pemerintah cukup mengintegrasikan infrastruktur yang sudah ada, seperti lebih dari 54.000 sarana kesehatan yang mencakup puskesmas, puskesmas pembantu, dan posyandu. Pendekatan ini dinilai cerdas karena mempercepat implementasi sekaligus meminimalkan kebutuhan investasi tambahan di awal.

Sebagai tindak lanjut, IAI siap menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten, yaitu tenaga apoteker yang akan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan Apotek Desa. Apt. Noffendri menilai bahwa keterlibatan apoteker dalam program tersebut menjadi elemen kunci dalam menjamin mutu pelayanan dan keamanan penggunaan obat.

Hal serupa diungkapkan apt. Maria Ulfah, Ketua Hisfarkesmas (Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat) PP IAI. Ia menilai langkah Presiden Prabowo untuk menambah jumlah apoteker di puskesmas sebagai angin segar dan momen penting dalam memperkuat sistem farmasi di lini pelayanan dasar.

Berdasarkan riset yang dilakukan Hisfarkesmas tahun 2023, dari total 10.300 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 68% yang memiliki apoteker. Sisanya masih diisi oleh Tenaga Vokasi Farmasi (TVF) atau tenaga kesehatan lain yang belum memiliki kompetensi setara apoteker.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama mengingat tanggung jawab apoteker di puskesmas dan apotek desa tidak sekadar menjual obat, tetapi juga menyusun rencana keuangan, mengelola pengadaan obat yang telah menggunakan sistem e-katalog versi 6, hingga menjamin pelayanan farmasi sesuai standar.

Apt. Maria menekankan bahwa hanya apoteker yang memiliki kapasitas untuk menjalankan tanggung jawab sebesar itu. Dalam pandangannya, Apotek Desa/Kelurahan nantinya seharusnya dipimpin oleh apoteker yang didukung oleh TVF sebagai tenaga pendamping. Ia menyebut bahwa kerja apoteker tidak bisa dilakukan secara mandiri, tetapi membutuhkan dukungan sistematis dari tim yang memahami prosedur farmasi dengan baik.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Halal dan JKN IAI, Dr. apt. Abdul Rahem, memberikan perspektif yang lebih konseptual. Ia menyoroti perlunya kejelasan bentuk dan fungsi Apotek Desa/Kelurahan sebelum diterapkan secara nasional.

Menurutnya, apotek tidak boleh diperlakukan seperti toko obat biasa. Ia mengingatkan bahwa apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian yang harus berada di bawah tanggung jawab langsung apoteker sesuai regulasi yang berlaku.

Lebih jauh, apt. Abdul Rahem menjelaskan bahwa Apotek Desa harus memainkan peran ganda: sebagai penyedia obat yang terjamin keamanannya dan sebagai pusat edukasi bagi masyarakat dalam penggunaan obat yang rasional serta upaya pencegahan penyakit. Dengan posisi tersebut, Apotek Desa memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan kesehatan masyarakat desa secara menyeluruh.

Ketiga tokoh farmasi nasional tersebut menyampaikan keyakinan bahwa gagasan Apotek Desa dari Presiden Prabowo merupakan sebuah terobosan besar dalam reformasi layanan kesehatan berbasis komunitas.

Namun, mereka juga mengingatkan bahwa kesuksesan program ini sangat bergantung pada keterlibatan semua pemangku kepentingan, mulai dari tenaga farmasi, pemerintah daerah, hingga masyarakat itu sendiri.

Bila dilaksanakan dengan komitmen penuh dan koordinasi yang solid, Apotek Desa berpeluang menjadi wajah baru pelayanan farmasi yang lebih humanis, inklusif, dan menjangkau seluruh pelosok negeri.

Presiden Prabowo telah menetapkan arah kebijakan yang progresif; kini tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa gagasan tersebut benar-benar memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. (*)

)* penulis adalah Pengamat Kebijakan Sosial – Lembaga Sosial Madani Institute

Dukungan Lintas Kementerian Perkuat Realisasi Program 3 Juta Rumah

Oleh: Malika Maharani )*

Program pembangunan 3 juta rumah yang digagas pemerintah menjadi salah satu wujud nyata keberpihakan negara kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini menargetkan tidak hanya peningkatan jumlah hunian, tetapi juga memastikan keterjangkauan dan kualitasnya. Dalam pelaksanaannya, dukungan lintas kementerian dan lembaga menjadi fondasi utama agar program berjalan efektif dan mampu menjawab persoalan krisis perumahan yang selama ini menjadi beban struktural bangsa.

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menekankan bahwa keberhasilan pembangunan perumahan rakyat harus didukung oleh semua pemangku kepentingan. Ia melihat bahwa pembangunan 3 juta rumah bukan hanya soal konstruksi fisik, melainkan menyangkut kompleksitas tata ruang dan penggunaan lahan di Indonesia.

Dalam pandangan AHY, lahan hunian bersaing dengan kebutuhan untuk industri dan perkebunan, sementara di sisi lain negara juga dituntut menjaga keseimbangan ekologis. Untuk itu, pemetaan yang telah dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN menjadi pijakan penting agar pengembangan hunian dapat dilakukan secara terarah tanpa merusak tatanan lingkungan.

AHY juga menyoroti pentingnya koordinasi lintas sektor dalam penyusunan kebijakan tata ruang dan perumahan. Ia percaya bahwa sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta instansi teknis seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), akan mempercepat tercapainya target program. Bagi pemerintah, pembangunan rumah tidak hanya dipandang sebagai proyek infrastruktur, tetapi juga sebagai sarana peningkatan kualitas hidup dan penguatan ekonomi masyarakat.

Sejalan dengan itu, Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa pihaknya mendukung penuh visi Presiden Prabowo Subianto dalam pelaksanaan program 3 juta rumah. Menurutnya, sinergi antara kementerian dan BUMN telah menunjukkan hasil yang baik dalam banyak program sebelumnya, dan pola tersebut juga digunakan untuk mendukung program perumahan rakyat. Kementerian BUMN telah mengoordinasikan keterlibatan berbagai perusahaan milik negara, termasuk bank-bank Himbara seperti BTN, Mandiri, dan BNI, untuk menyediakan pembiayaan melalui skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi.

Erick menilai bahwa BTN memiliki peran paling strategis karena selama ini menguasai pasar pembiayaan rumah subsidi. Namun, mengingat skala program yang sangat besar, ia berharap bank-bank swasta juga turut serta agar beban tidak hanya dipikul oleh lembaga milik negara. Semangat kolaboratif ini menurutnya penting karena kebutuhan masyarakat akan perumahan sudah sangat mendesak, sementara backlog perumahan nasional masih tinggi. Bagi Erick, program ini bukan hanya soal sektor perumahan, melainkan soal keadilan sosial dan pembangunan ekonomi yang inklusif.

Dari sisi regulasi dan penguatan sistem keuangan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh pembiayaan sektor perumahan sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. OJK memandang bahwa pembangunan 3 juta rumah akan menciptakan efek berganda terhadap perekonomian, karena dapat mendorong pertumbuhan sektor konstruksi, industri bahan bangunan, dan menyerap banyak tenaga kerja. Dalam kerangka ini, OJK mengarahkan kebijakan keuangan agar mampu mendukung realisasi program secara sehat dan berkelanjutan.

Mahendra juga mencermati pentingnya kolaborasi antara otoritas keuangan dengan perbankan nasional dalam memperluas akses KPR bersubsidi. BTN menjadi mitra utama dalam pembiayaan rumah rakyat, namun OJK juga mendorong peran aktif dari bank-bank lain agar pembiayaan rumah tidak terkonsentrasi hanya pada satu institusi. Dengan regulasi yang adaptif dan dukungan penuh dari sektor jasa keuangan, program ini diyakini dapat terlaksana dengan lebih cepat dan menjangkau lebih luas kalangan masyarakat.

Dukungan lintas kementerian dan lembaga dalam program ini bukan sekadar simbol komitmen, melainkan merupakan strategi konkret yang dirancang untuk menyelesaikan akar persoalan perumahan di Indonesia. Pemerintah tidak hanya fokus pada angka rumah yang terbangun, tetapi juga pada akses, keberlanjutan, dan integrasi kebijakan antara sektor tata ruang, keuangan, dan sosial. Sinergi antara Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Kementerian BUMN, serta OJK menjadi bukti bahwa negara hadir secara utuh dalam menjawab kebutuhan dasar warganya.

Dengan arah kebijakan yang jelas, kepemimpinan yang kuat, dan semangat kolaboratif dari seluruh elemen pemerintahan, program 3 juta rumah tidak sekadar menjadi proyek jangka pendek. Ini adalah bagian dari transformasi sosial yang lebih luas, di mana rumah tidak hanya dipandang sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai landasan kehidupan yang layak, produktif, dan berdaya saing. Pemerintah melalui kerja kolektif lintas sektor terus memastikan bahwa pembangunan perumahan rakyat menjadi agenda prioritas demi kesejahteraan bangsa secara menyeluruh.

Penting pula ditekankan bahwa keberhasilan program ini akan berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam aspek pengentasan kemiskinan dan penyediaan pemukiman layak. Selain itu, program ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan kawasan baru yang terintegrasi dengan pusat ekonomi dan transportasi. Dengan pendekatan berbasis kawasan, pembangunan rumah tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan layanan publik lainnya. Melalui sinergi antarkementerian, pemerintah berupaya memastikan bahwa pembangunan perumahan turut menciptakan lingkungan hidup yang sehat, inklusif, dan mendukung produktivitas masyarakat dalam jangka panjang.

)* Pemerhati Kebijakan Publik

Program 3 Juta Rumah Komitmen Pemerintah Wujudkan Keadilan Sosial

Oleh: Arifatul Asri )*

Program tiga juta rumah yang dicanangkan pemerintah bukan sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan representasi nyata dari semangat konstitusi dalam menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inisiatif ini menjadi bagian penting dari pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Melalui program 3 juta rumah ini, pemerintah mengarahkan kebijakan sektoral agar berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar berupa hunian yang layak dan terjangkau.

Komitmen pemerintah ini ditunjukkan secara tegas oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menilai bahwa program tersebut harus didukung penuh oleh seluruh pemerintah daerah. Dalam konteks desentralisasi, sinergi antara pusat dan daerah menjadi elemen krusial untuk memastikan bahwa target tiga juta rumah benar-benar tercapai.

Tito menegaskan bahwa kewajiban kepala daerah untuk melaksanakan program strategis nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan kebijakan tersebut. Bahkan, regulasi dalam bentuk Instruksi Presiden dipandang perlu untuk memperkuat posisi hukum dari program ini, sekaligus mencegah multitafsir dalam pelaksanaannya.

Pemerintah daerah pun mulai menunjukkan langkah konkret dalam mendukung program tersebut. Hingga saat ini, sebanyak 492 dari 509 daerah telah menerbitkan regulasi pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Pembebasan BPHTB ini menjadi bagian penting dari upaya mengurangi beban biaya kepemilikan rumah, sekaligus membuka akses yang lebih luas bagi kelompok rentan untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Sisanya, sebanyak 17 daerah yang belum mengeluarkan regulasi serupa, tengah diimbau untuk segera menyusul demi memastikan program ini berjalan serentak dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menegaskan bahwa penyediaan rumah bagi rakyat kecil tidak boleh terhambat oleh birokrasi yang berbelit. Ia mengedepankan efisiensi dan kolaborasi lintas sektor sebagai kunci utama percepatan program.

Menurutnya, kehadiran rumah tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi menjadi simbol hadirnya negara dalam kehidupan rakyat. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk perbankan dan sektor swasta, menjadi krusial agar target pembangunan rumah dapat tercapai tepat waktu. Upaya Maruarar memperluas cakupan program juga mencerminkan semangat pemerataan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Selain kementerian teknis, peran lembaga pengelola pembiayaan juga sangat vital. Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyampaikan bahwa tahun ini pihaknya bersama Kementerian PKP telah mengalokasikan 20.000 unit rumah subsidi untuk para buruh.

Unit-unit rumah tersebut tersebar di wilayah strategis seperti Batang, Pasuruan, Makassar, dan Palembang. Selain memperluas jangkauan penerima manfaat, kebijakan ini juga memberi dorongan terhadap pemerataan pembangunan di luar Pulau Jawa. Untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses rumah subsidi ini, fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) disiapkan sebagai skema pembiayaan ringan dengan bunga terjangkau.

Langkah-langkah terintegrasi ini menunjukkan bahwa program tiga juta rumah dirancang secara sistematis dan menyeluruh. Pemerintah tidak hanya membangun rumah, tetapi juga menyiapkan seluruh ekosistem pendukung mulai dari pembiayaan, regulasi, hingga pelibatan aktif pemerintah daerah. Melalui pendekatan ini, negara hadir tidak hanya sebagai penyedia fasilitas, tetapi sebagai pelindung hak dasar rakyat atas tempat tinggal yang manusiawi.

Program ini juga menimbulkan efek positif di sektor lain seperti industri konstruksi, penyedia bahan bangunan, dan lapangan kerja lokal. Namun, yang lebih penting dari itu adalah dampaknya terhadap kualitas hidup masyarakat. Dengan memiliki rumah yang layak, masyarakat dapat hidup lebih stabil, sehat, dan produktif. Hal ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi mikro di berbagai daerah, sekaligus memperkuat fondasi kesejahteraan sosial secara nasional.

Program tiga juta rumah merupakan wujud nyata bagaimana kebijakan publik dapat menyatu dengan cita-cita keadilan sosial. Pemerintah memahami bahwa rumah adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda, apalagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini terpinggirkan dari akses perumahan formal. Melalui langkah-langkah konkret yang telah dan akan terus diambil, pemerintah memberikan kepastian bahwa hak atas tempat tinggal bukanlah privilese segelintir orang, melainkan hak seluruh warga negara.

Komitmen yang ditunjukkan oleh Muhammad Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Maruarar Sirait sebagai Menteri PKP, dan Heru Pudyo Nugroho dari BP Tapera mempertegas bahwa program ini bukan sekadar janji kampanye, tetapi kebijakan nyata yang terukur dan berkelanjutan. Ketiganya mewakili sinergi antarpemangku kepentingan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap rumah yang dibangun benar-benar menjadi rumah harapan bagi masa depan rakyat Indonesia.

Dengan strategi yang tepat, dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah, serta keterlibatan semua elemen masyarakat, program ini akan menjadi pilar penting dalam mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi titik awal bagi rakyat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Dan melalui program ini, pemerintah menegaskan bahwa keadilan sosial bukan sekadar konsep, tetapi realitas yang terus diperjuangkan.

)* Pemerhati Kebijakan Publik

Mengapresiasi Langkah Strategis Pemerintah dalam Mewujudkan 3 Juta Rumah untuk Rakyat

Jakarta – Pemerintah terus mengakselerasi realisasi program tiga juta rumah sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban mendukung penuh program tersebut, karena merupakan bagian dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

“Program ini perlu diperkuat dengan regulasi berupa Instruksi Presiden yang menegaskan statusnya sebagai Program Strategis Nasional. Dengan begitu, tidak akan ada lagi multitafsir di lapangan,” ujar Tito.

Untuk mewujudkan target ambisius ini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah mendorong pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Tito menyebutkan, dari total 509 daerah, 492 di antaranya telah menerbitkan peraturan kepala daerah (Perkada) terkait pembebasan tersebut.

Namun, masih ada 17 daerah yang belum menyelesaikan regulasi tersebut, seperti Lombok Tengah, Sumba Barat Daya, dan Timor Tengah Utara.

“Daerah-daerah ini akan mendapat perlakuan khusus agar segera menyesuaikan. Ini perlu diekspos agar semua tahu dan mendesak penyelesaian cepat,” kata Tito

Tito juga mengingatkan bahwa berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah wajib menjalankan program strategis nasional.

Jika tidak, mereka dapat dikenai sanksi, termasuk pemberhentian.

“Program ini merupakan program unggulan Presiden yang wajib didukung oleh seluruh kepala daerah,” tegasnya.

Senada dengan hal itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menegaskan komitmennya terhadap percepatan penyediaan perumahan rakyat. Ia menilai kolaborasi antar-lembaga menjadi kunci, termasuk dukungan nyata dari Mendagri.

“Saya merasakan bantuan dari Pak Tito, termasuk menyiapkan sumber daya terbaiknya. Bahkan, Pak Prabowo pernah meminta saya membuat karpet merah bagi rakyat kecil,” ungkap Maruarar.

Di sisi lain, BRI menargetkan penyaluran KPR bersubsidi sebesar Rp2,92 triliun pada 2025 melalui skema FLPP dan Tapera, dengan target 17.701 unit rumah.

Direktur Bisnis Konsumer BRI, Handayani, menyatakan bahwa langkah ini sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan pembangunan inklusif dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Program tiga juta rumah ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan hunian layak bagi MBR serta mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. *

[edRW]