Masyarakat Tegas Tolak Bendera Bajak Laut Jelang HUT RI ke -80

Oleh : Michael Tjandra )*

Menjelang momentum sakral, yakni peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, gelombang tren yang menyimpang dari semangat nasionalisme justru kembali mencuat. Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece, yang juga banyak dikenal dengan simbol Jolly Roger, terus menjadi sorotan berbagai pihak.

Simbol ini berkibar di sejumlah daerah, terutama di kendaraan besar seperti truk, bersamaan atau bahkan menggantikan bendera Merah Putih. Fenomena tersebut bukan hanya bentuk ketidaktahuan, tetapi juga membuka ruang bagi provokasi dan potensi disintegrasi bangsa.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai bahwa pengibaran simbol Jolly Roger secara masif bukan sekadar tindakan iseng atau ekspresi kreatif belaka. Ia mengungkap bahwa sejumlah lembaga intelijen telah memberikan laporan mengenai adanya indikasi gerakan sistematis yang memanfaatkan simbol non-negara untuk memecah belah persatuan. Tindakan seperti itu, menurutnya, sangat berbahaya, apalagi di tengah situasi nasional yang sedang fokus mendorong kemajuan dan stabilitas pascakonsolidasi politik.

Dasco menekankan pentingnya menjaga persatuan dan menolak segala bentuk simbol yang berpotensi menjadi pemicu konflik sosial. Ia juga tidak menampik kemungkinan adanya pengaruh pihak luar yang sengaja menciptakan gangguan di tengah upaya pembangunan nasional. Dalam konteks itu, pengibaran bendera Jolly Roger menjadi lebih dari sekadar hiburan—ia bisa berfungsi sebagai alat propaganda terselubung yang menyerang fondasi nasionalisme.

Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo menilai pengibaran bendera bajak laut itu sebagai tindakan provokatif. Ia melihat pola-pola semacam ini sebagai bagian dari upaya memprovokasi masyarakat dan menjatuhkan kewibawaan negara.

Menurut Firman, tindakan mengibarkan bendera non-negara yang menyerupai simbol perlawanan terhadap pemerintahan sepatutnya tidak dianggap remeh. Apalagi dilakukan menjelang momen sakral kemerdekaan yang seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kebangsaan.

Firman bahkan menilai bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk makar dalam skala simbolik. Oleh karena itu, ia mendorong aparat untuk bertindak tegas, melakukan interogasi terhadap pihak-pihak yang terlibat, dan mengusut motif sebenarnya. Ia juga menilai bahwa tindakan pembinaan menjadi langkah penting untuk mengedukasi pelaku dan mencegah pengulangan kejadian serupa.

Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Parahyangan, Garlika Martanegara, melihat fenomena tersebut sebagai refleksi dari menurunnya kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat. Menurutnya, kecenderungan publik untuk mengonsumsi informasi dari media sosial tanpa verifikasi telah memperparah kondisi literasi nasional. Masyarakat, terutama generasi muda, kerap terjebak pada tren viral tanpa memahami konteks sejarah, hukum, dan nilai-nilai kebangsaan.

Garlika menilai bahwa simbol Jolly Roger kerap diasosiasikan sebagai lambang kebebasan dan perlawanan terhadap sistem yang menindas, sebagaimana digambarkan dalam anime One Piece.

Namun dalam konteks Indonesia, makna tersebut tidak relevan dan bahkan berisiko menimbulkan kesalahpahaman ideologis. Ia juga menyoroti lemahnya pendidikan karakter dan nasionalisme di sekolah-sekolah, yang menyebabkan generasi muda semakin jauh dari simbol-simbol kebangsaan yang sah.

Menurut Garlika, ketika simbol bajak laut dikibarkan bersamaan dengan atau bahkan menggantikan Merah Putih dalam konteks kemerdekaan, masyarakat perlu bertanya: nilai apa yang sebenarnya sedang dirayakan?

Apakah kemerdekaan sebagai hasil perjuangan dan pengorbanan, ataukah semangat anarkisme yang dibungkus dalam budaya pop? Pemaknaan semu terhadap simbol menjadi berbahaya ketika tidak dilandasi dengan pemahaman sejarah dan konstitusi.

Dalam hukum positif Indonesia, Bendera Merah Putih memiliki kedudukan yang sangat jelas sebagai simbol negara yang wajib dihormati. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 secara tegas melarang segala bentuk penghinaan, pelecehan, dan perendahan terhadap bendera negara.

Pengibaran bendera asing, fiksi, atau non-negara yang ditempatkan sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih, apalagi dalam konteks kenegaraan seperti Hari Kemerdekaan, bukan hanya tindakan tidak pantas, tetapi juga dapat memicu konsekuensi hukum dan sosial.

Simbol seperti bendera Jolly Roger tidak memiliki legitimasi hukum dan historis dalam konteks kemerdekaan Indonesia. Menganggapnya sebagai bentuk kritik sosial, apalagi menyandingkannya dengan semangat perjuangan bangsa, adalah bentuk penyimpangan makna yang perlu diluruskan. Ekspresi kebebasan tentu sah dalam demokrasi, tetapi harus tetap berlandaskan pada norma, hukum, dan nilai-nilai kebangsaan.

Fenomena pengibaran bendera bajak laut tidak dapat dipisahkan dari narasi-narasi negatif yang menyasar pemerintah, sering kali disebarkan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tertentu. Provokasi simbolik seperti ini memiliki daya rusak yang tinggi, karena dapat menyentuh emosi massa, memicu konflik horizontal, dan merusak legitimasi simbol negara.

Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih cermat dan kritis dalam menerima informasi di media sosial. Pemerintah, aparat, dan tokoh pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk memperkuat literasi kebangsaan dan membentengi ruang publik dari infiltrasi simbol-simbol yang menyesatkan. Mengibarkan bendera One Piece dalam konteks perayaan kemerdekaan bukanlah bentuk kreativitas, tetapi distorsi identitas nasional yang harus dihentikan.

Merah Putih bukan sekadar sehelai kain. Ia adalah simbol perjuangan, tumpah darah, dan semangat kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan. Menyamakannya dengan bendera bajak laut fiktif adalah bentuk pelecehan terhadap sejarah bangsa dan harus diluruskan dengan pendekatan hukum, edukasi, dan keteladanan nasional. (*)

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute

Bijak Menyikapi Tren, Stop Pengibaran Bendera Bajak Laut Jelang HUT RI ke-80

Oleh : Umar Adisusanto )*

Menjelang peringatan momentum sakral, yakni Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, ruang publik justru kembali diguncang oleh adanya gelombang tren yang sama sekali tidak sejalan dengan semangat nasionalisme bangsa.

Munculnya fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece di berbagai wilayah, terutama pada kendaraan besar seperti truk, sontak memantik keresahan luas dari berbagai pihak.

Aksi tersebut sejatinya bukan hanya sekadar bentuk ekspresi kebudayaan pop saja, melainkan merupakan sebuah bentuk provokasi yang dapat mengarah pada pelecehan terhadap simbol negara.

Simbol Jolly Roger, yakni bendera hitam bergambar tengkorak yang mengenakan topi jerami dalam narasi fiksi serial berjudul One Piece tersebut merupakan sebuah lambang perlawanan terhadap otoritas yang dianggap menindas.

Namun ketika dikibarkan dalam konteks menjelang momentum yang sangat sakral bagi seluruh masyarakat Indonesia, yakni Hari Kemerdekaan, terutama bersanding atau bahkan justru menggantikan bendera Merah Putih, tindakan itu beralih menjadi bentuk penyimpangan simbolik yang jelas sangat berbahaya.

Terkait hal itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menanggapi dengan sangat serius penyebaran simbol tersebut. Ia menyampaikan bahwa lembaga-lembaga intelijen telah melaporkan adanya indikasi yang kuat tentang adanya gerakan secara sistematis yang menggunakan simbol non-negara dan bertujuan untuk mengacaukan persatuan nasional.

Menurutnya, gelombang pengibaran bendera bajak laut menjelang momen sakral seperti 17 Agustus seperti ini sama sekali tidak bisa dianggap sepele. Tindakan tersebut sangat berpotensi menjadi alat untuk menciptakan perpecahan di tengah kemajuan yang tengah diraih bangsa.

Dasco menggarisbawahi bahwa momentum kemerdekaan seharusnya menjadi ajang pemersatu seluruh elemen masyarakat. Kemunculan simbol fiksi yang menyaingi posisi simbol negara tersebut jelas hanya akan mengaburkan makna perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri.

Ia juga tidak menutup kemungkinan adanya campur tangan dari pihak asing yang terus berusaha untuk mengganggu stabilitas nasional di tengah proses pembangunan yang tengah dipercepat oleh pemerintah di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Nada yang sama juga datang dari Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo. Ia menilai aksi pengibaran bendera One Piece sebagai provokasi yang terstruktur dan berpotensi menjatuhkan wibawa pemerintahan.

Menurutnya, simbol bajak laut tersebut bukan sekadar ekspresi kebebasan kreatif, melainkan upaya manipulatif yang dapat memengaruhi opini publik dan memperlemah kecintaan terhadap negara.

Firman mendorong aparat untuk mengambil langkah hukum secara tegas. Ia menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga memiliki unsur makar secara simbolik.

Pemeriksaan terhadap pelaku maupun pihak-pihak yang terlibat perlu segera dilakukan. Langkah tersebut penting sebagai bentuk pembinaan dan penguatan kembali kesadaran kolektif terhadap pentingnya menjaga kehormatan simbol negara.

Sosiolog dari Universitas Parahyangan, Garlika Martanegara, memberikan perspektif yang lebih sosiologis. Ia melihat bahwa penyebaran tren bendera bajak laut mencerminkan dua hal utama: rendahnya literasi digital masyarakat serta terkikisnya nilai-nilai nasionalisme dalam sistem pendidikan saat ini.

Banyak pengguna media sosial, khususnya generasi muda, cenderung menelan informasi viral secara mentah tanpa menyaring kebenarannya. Ketika simbol seperti Jolly Roger dikemas sebagai ikon kebebasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan, sebagian masyarakat langsung meresponsnya secara emosional tanpa memahami konteks sebenarnya.

Garlika menyayangkan absennya program-program pembentukan karakter nasional di sekolah. Tradisi seperti upacara bendera, penghormatan terhadap simbol negara, atau pelajaran P4 yang dahulu menanamkan kecintaan pada tanah air, perlahan tergerus oleh kurikulum yang semakin teknokratis. Akibatnya, generasi baru cenderung mencari simbol-simbol perlawanan yang dangkal, lalu mengangkatnya menjadi ekspresi sosial yang keliru arah.

Fenomena seperti pengibaran bendera bajak laut menjadi jauh lebih serius ketika dilakukan menjelang Hari Kemerdekaan. Penggunaan simbol asing yang mengandung pesan perlawanan terhadap sistem, dalam konteks negara merdeka, hanya akan menciptakan disonansi makna dan memperlemah rasa hormat terhadap perjuangan para pendiri bangsa. Bendera Merah Putih bukanlah sekadar kain, melainkan manifestasi dari pengorbanan, darah, dan nyawa para pahlawan.

Dalam perspektif hukum, pengibaran bendera non-negara sejatinya tidak secara eksplisit dilarang, selama tidak menurunkan martabat bendera negara. Namun Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 secara tegas melarang tindakan yang menghina, merendahkan, atau menyamakan kedudukan simbol negara dengan simbol lain, terutama dalam konteks publik yang bersifat resmi atau sakral. Mengibarkan Jolly Roger bersamaan dengan Merah Putih dalam perayaan 17 Agustus berpotensi menabrak norma tersebut.

Perlu dipahami bahwa tidak semua tren media sosial layak ditiru tanpa pertimbangan. Keberadaan simbol dalam masyarakat bukan hanya soal visual atau desain, tetapi mengandung makna, sejarah, dan nilai.

Ketika simbol asing mendapatkan panggung yang sama dengan simbol kenegaraan dalam peringatan kemerdekaan, hal tersebut menunjukkan adanya krisis identitas kolektif yang perlu segera dibenahi.

Menjaga kehormatan simbol negara bukanlah tugas segelintir pihak. Pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan media harus berperan aktif dalam membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya merawat jati diri bangsa.

Dalam momentum peringatan kemerdekaan, sudah semestinya Merah Putih berkibar sendirian di atas segala simbol lain—karena hanya ia yang mewakili semangat perjuangan dan kemerdekaan sejati. (*)

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Jaga Kehormatan Merah Putih, Hindari Pengibaran Bendera One Piece di Momen Sakral

JAKARTA – Pengibaran bendera bajak laut bergambar tengkorak ala anime One Piece menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia menuai kekhawatiran sejumlah pihak.

Fenomena tersebut bukan hanya bentuk ekspresi budaya pop, tetapi juga menyimpan potensi bahaya laten terhadap semangat nasionalisme.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyebut fenomena tersebut patut diwaspadai.

Pengibaran simbol bajak laut itu diduga mengandung agenda sistematis merusak persatuan.

“Kita juga mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan intelijen, memang ada upaya-upaya namanya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” ungkap Dasco.

Ia menegaskan pentingnya menjaga soliditas nasional di tengah percepatan kemajuan yang sedang diraih Indonesia.

Menurutnya, kemunculan simbol seperti bendera One Piece bukan hanya fenomena iseng, melainkan dapat menjadi alat provokasi yang membahayakan stabilitas.

“Imbauan saya kepada seluruh anak bangsa, mari kita bersatu. Justru kita harus bersama melawan hal-hal yang seperti itu,” ujar Dasco.

Senada, Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo menilai pengibaran bendera bajak laut ala One Piece sebagai tindakan provokatif yang mengarah pada potensi makar.

“Jelas ini adalah melakukan bagian provokasi kemudian yang akan merugikan bangsa dan negara. Ini enggak boleh. Oleh karena itu, bagian daripada makar mungkin malah itu. Nah ini enggak boleh. Ini harus ditindak tegas,” tegas Firman.

Firman mendorong aparat melakukan interogasi terhadap pelaku dan mendalami motif aksi tersebut.

Ia menilai pengibaran simbol asing saat momentum kemerdekaan sebagai penyimpangan yang perlu dibina serius.

Sosiolog Universitas Parahyangan, Garlika Martanegara, menilai maraknya pengibaran bendera One Piece merupakan refleksi menurunnya nasionalisme dan literasi digital.

“Namanya sosmed, itu kadang potongan-potongan berita yang enggak jelas, terus juga ya maaf, entah dari mana sumbernya,” ungkapnya.

Garlika menjelaskan bahwa tren pengibaran bendera bajak laut terjadi akibat minimnya pemahaman sejarah, serta berkurangnya pendidikan kebangsaan.

“Masuk ke kelas dulu harus hormat bendera, mereka sudah enggak ada. Penataran P4 enggak ada. Ya, gitu akibatnya,” tambahnya.

Fenomena ini menegaskan bahwa nasionalisme tidak bisa dianggap mainan.

Mengganti simbol negara dengan ikon budaya pop, menjelang Hari Kemerdekaan, dapat merusak makna perjuangan dan mereduksi semangat kebangsaan yang seharusnya ditanamkan.

Mari bersama perkuat pemahaman akan simbol negara dan pentingnya menjaga kehormatan Merah Putih di tengah gempuran tren digital dan globalisasi budaya. (*)

Pemerintah Komitmen Hadirkan Demokrasi Substantif Lewat Pemungutan Suara Ulang

Oleh: Rusman Nasrori  )*

Demokrasi tidak berhenti pada pelaksanaan pemilu semata, melainkan terus bergulir dalam rangka memperkuat legitimasi politik dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. Salah satu indikator kuatnya demokrasi adalah adanya mekanisme korektif ketika terjadi persoalan dalam proses pemilihan umum. Dalam konteks inilah, Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi cermin nyata dari komitmen pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menghadirkan demokrasi yang substantif, bukan sekadar prosedural.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan amanat konstitusi. Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan pentingnya peran serta semua pihak, baik partai politik, tokoh masyarakat, maupun masyarakat sipil dalam menjaga kualitas pemilu. Keterlibatan berbagai elemen ini menjadi pilar utama dalam membangun pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Tidak hanya mengedepankan aspek teknis, KPU juga menaruh perhatian besar pada partisipasi publik yang tinggi, sebagai bentuk legitimasi terhadap proses demokratis yang berlangsung.

Dalam pelaksanaan PSU di beberapa daerah, termasuk di Barito Utara, Kalimantan Tengah, KPU telah memastikan seluruh kebutuhan logistik dan tahapan distribusinya dipersiapkan dengan cermat. Bahkan, menurut Afifuddin, kesiapan logistik di wilayah tersebut telah mencapai 99 persen. Ini menjadi bukti konkret bahwa KPU bekerja secara profesional untuk memastikan proses PSU tidak hanya berjalan tepat waktu, namun juga memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas publik. Langkah ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memastikan bahwa setiap warga negara mendapat hak politiknya secara adil.

Menariknya, dalam konteks Provinsi Papua, pelaksanaan PSU mendapatkan perhatian khusus. Ketua KPU Papua, Diana Simbiak, menegaskan bahwa Papua menjadi satu-satunya provinsi dari 37 provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan debat publik dalam rangkaian PSU Pilkada. Debat publik bukan hanya ajang adu gagasan para calon kepala daerah, tetapi juga sarana pendidikan politik bagi masyarakat Papua. Langkah ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa Papua tidak hanya menjadi pelengkap demokrasi nasional, tetapi juga pionir dalam mewujudkan demokrasi deliberatif yang mencerdaskan.

Keberhasilan pelaksanaan debat publik di Papua juga tidak lepas dari dukungan dan sinergi seluruh pemangku kepentingan di daerah. Diana Simbiak menyampaikan apresiasi kepada para stakeholder, termasuk pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, dan aparat keamanan yang telah menciptakan situasi kondusif selama seluruh tahapan PSU berlangsung. Kerja sama yang harmonis ini menjadi kunci utama dalam membangun demokrasi yang inklusif dan berkeadaban, sekaligus menepis stigma bahwa wilayah timur Indonesia selalu berada dalam bayang-bayang konflik politik.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Boven Digoel juga menunjukkan komitmen kuat dalam menciptakan suasana PSU yang damai dan bermartabat. Sekretaris Daerah Kabupaten Boven Digoel, Philemon Tabuni, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam menjaga suasana kondusif selama proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Ajakan ini bukan sekadar imbauan seremonial, melainkan bagian dari tanggung jawab kolektif dalam merawat demokrasi lokal yang semakin matang.

Philemon juga menyoroti pentingnya peran Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjaga netralitas, profesionalitas, dan integritas selama pelaksanaan PSU. Sebagai pelayan publik, ASN memegang peranan strategis dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Netralitas ASN bukan hanya etika birokrasi, tetapi juga menjadi fondasi kuat dalam mewujudkan proses demokrasi yang bersih dan transparan. Jika ASN mampu menjalankan perannya secara proporsional, maka PSU akan berlangsung tanpa intervensi dan tekanan politik yang menciderai keadilan pemilu.

Pelaksanaan PSU di Papua dan Kalimantan Tengah menjadi momentum penting dalam menyuarakan semangat pembaruan dan perbaikan dalam demokrasi Indonesia. Pemerintah melalui KPU dan jajaran di daerah telah menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil tetap menjadi prioritas utama, bahkan ketika harus mengulang prosesnya demi menjamin keabsahan dan keadilan hasil pemilihan. Inilah bentuk nyata dari demokrasi yang tidak stagnan, tetapi terus tumbuh dan belajar dari dinamika yang terjadi.

Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan juga dituntut untuk berperan aktif. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi tidak hanya mencerminkan kesadaran politik, tetapi juga bentuk kontrol sosial terhadap proses demokrasi. Dalam PSU, kehadiran masyarakat di bilik suara menjadi simbol kepercayaan terhadap sistem, serta bukti bahwa suara rakyat benar-benar memiliki nilai dan dampak dalam menentukan arah pembangunan daerah.

Sebagai penutup, mari kita jadikan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebagai ajang pembuktian bahwa demokrasi Indonesia semakin dewasa dan bertanggung jawab. Pemerintah pusat dan daerah telah memberikan landasan yang kokoh melalui kebijakan dan kesiapan teknis yang maksimal. Kini saatnya masyarakat mengambil bagian dengan memastikan proses PSU berjalan damai, jujur, dan adil.

Kita semua memiliki peran penting untuk menyukseskan PSU, tidak hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi. Dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas, PSU bukan hanya menjadi pengulangan prosedural, tetapi momentum transformasi menuju demokrasi yang lebih bermakna dan substantif.

)* Pengamat Politik Daerah

Pemungutan Suara Ulang Dipastikan Bebas dari Politisasi Birokrasi

Oleh : Nancy Dora )*

Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada 2025 yang akan digelar pada 6 Agustus mendatang menjadi tonggak penting dalam menuntaskan agenda demokrasi nasional. Pemerintah memastikan seluruh tahapan PSU berjalan sesuai prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber dan Jurdil), serta bebas dari intervensi politik maupun politisasi birokrasi. Penegasan ini mencerminkan keseriusan negara dalam menjaga kualitas demokrasi, khususnya di daerah-daerah yang melaksanakan PSU seperti Provinsi Papua, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Barito Utara.

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polkam) telah membentuk Desk Koordinasi Pilkada Serentak untuk memastikan stabilitas politik dan keamanan tetap terjaga selama proses PSU berlangsung. Langkah strategis ini melibatkan kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, dan aparat keamanan untuk membangun sinergi yang kuat dan responsif terhadap berbagai potensi kerawanan yang mungkin muncul. Komitmen seluruh unsur penyelenggara negara menjadi garansi bahwa PSU akan berlangsung dengan netral, profesional, dan berintegritas.

Tak hanya aspek keamanan yang mendapat perhatian serius, kesiapan logistik dan administrasi pemilu juga telah dipastikan. Seluruh perlengkapan pemungutan suara telah tiba 100% di kabupaten/kota yang menjadi lokasi PSU dan siap didistribusikan ke tempat pemungutan suara (TPS). Kesiapan ini menandakan bahwa tidak ada celah bagi penyelenggaraan yang terburu-buru atau dipengaruhi oleh kekuatan non-demokratis.

Seluruh aparat negara, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN), diimbau untuk tetap menjaga netralitas. Hal ini ditekankan oleh Staf Ahli Gubernur Papua Bidang Pengembangan Masyarakat dan Budaya, Matias Benoni Mano, yang menyampaikan bahwa ASN memiliki tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam politik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Netralitas ASN adalah syarat mutlak untuk menjamin PSU berlangsung adil dan tidak memihak. Jika birokrasi dapat menjaga jarak dari kepentingan politik tertentu, maka kepercayaan publik terhadap proses demokrasi akan semakin menguat.

Matias juga menekankan bahwa keberhasilan PSU sangat tergantung pada peran aktif seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, pemuda, dan kelompok perempuan. Partisipasi mereka dalam menjaga kedamaian dan ketertiban selama PSU menjadi kunci utama terciptanya iklim demokrasi yang sehat. Masyarakat didorong untuk menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab, tanpa tekanan, serta menjauhi segala bentuk provokasi dan hoaks yang beredar, khususnya di media sosial.

Untuk mendukung kelancaran partisipasi publik, pemerintah daerah juga telah menetapkan 6 Agustus sebagai hari libur lokal di delapan kabupaten penyelenggara PSU. Kebijakan ini memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga untuk datang ke TPS tanpa terkendala urusan pekerjaan. Ini merupakan bentuk nyata dari komitmen pemerintah dalam mengedepankan hak politik rakyat dan memastikan bahwa setiap suara memiliki arti penting dalam menentukan arah kepemimpinan daerah.

Media sosial menjadi salah satu sarana komunikasi yang perlu dimanfaatkan secara positif selama masa PSU. Edukasi mengenai pentingnya menjaga kedamaian, serta ajakan untuk tidak golput, harus disebarluaskan secara masif. Dalam konteks ini, penggunaan media sosial secara bijak menjadi keharusan, agar tidak menjadi sumber penyebaran informasi menyesatkan atau alat provokasi yang dapat menimbulkan kericuhan. Pemerintah dan penyelenggara pemilu didorong untuk memperkuat kampanye informasi yang mencerahkan dan menenangkan.

Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik, dan Keamanan, Letjen TNI (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus, menyampaikan bahwa pemantauan situasi di lapangan dilakukan secara intensif melalui Desk Koordinasi Pilkada Serentak. Desk ini memastikan bahwa PSU di seluruh daerah berjalan dalam kondisi aman dan tertib, dengan dukungan penuh dari TNI/Polri. Seluruh pihak diminta untuk mengedepankan semangat kebersamaan dan menjaga keutuhan bangsa dengan mendukung jalannya PSU secara damai dan bermartabat.

Pemilu merupakan ajang kompetisi ide dan gagasan, bukan ajang pertentangan atau pemecah belah masyarakat. Oleh karena itu, narasi damai dan persatuan harus terus digaungkan agar PSU tidak menjadi titik panas konflik, melainkan justru menjadi momentum konsolidasi demokrasi yang inklusif. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa suara mereka akan dihitung secara adil dan bahwa hasil pemilu akan mencerminkan kehendak rakyat, bukan hasil rekayasa birokratis atau manipulasi elit politik.

Penting pula untuk memastikan bahwa proses rekapitulasi suara dilakukan secara transparan dan akuntabel. Pengawasan partisipatif dari masyarakat, pemantau independen, serta media massa menjadi pelengkap penting dalam menjamin kredibilitas hasil PSU. Keberadaan lembaga-lembaga pengawas pemilu di tingkat lokal harus diperkuat agar mampu menangkal segala potensi pelanggaran, termasuk intervensi dari aparat negara yang menyimpang dari prinsip netralitas.

Dengan seluruh perangkat demokrasi yang telah disiapkan, tidak ada alasan untuk meragukan kualitas pelaksanaan PSU. Tanggung jawab bersama antara pemerintah, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, ASN, dan masyarakat luas menjadi fondasi kuat untuk memastikan bahwa pemungutan suara ulang benar-benar bebas dari politisasi birokrasi. Hal ini bukan hanya tentang menyelenggarakan pemilu yang baik, tetapi juga tentang menjaga marwah demokrasi Indonesia yang terus tumbuh dan matang.

Ke depan, penyelenggaraan PSU dapat menjadi contoh praktik demokrasi sehat yang memberi inspirasi bagi proses politik di seluruh wilayah Indonesia. Semangat untuk menjaga netralitas birokrasi dan mendorong partisipasi aktif masyarakat harus terus dijaga, bukan hanya dalam momen PSU, tetapi juga dalam seluruh rangkaian proses pemilu yang akan datang. Jika semua pihak dapat memegang teguh komitmen ini, maka demokrasi Indonesia akan semakin kuat, inklusif, dan berkeadaban.

)* Penulis adalah Pengamat Politik Dalam Negeri

Pemerintah Imbau Masyarakat Tak Terprovokasi Jelang Pemungutan Suara Ulang

JAKARTA – Pemerintah melalui sejumlah kementerian dan lembaga terkait mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi menjelang pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2025 di Provinsi Papua, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Barito Utara pada 6 Agustus mendatang. Imbauan ini disampaikan sebagai bentuk antisipasi terhadap meningkatnya penyebaran informasi menyesatkan, hoaks, serta propaganda negatif yang beredar di media sosial.

Dalam Rapat Koordinasi Kesiapan Pelaksanaan PSU yang digelar di Gedung Kemenko Polkam, dipastikan bahwa seluruh tahapan logistik, administrasi, serta keamanan telah mencapai kesiapan penuh. Rapat yang dipimpin Wamenko Polhukam, Lodewijk Freidrich Paulus dan dihadiri oleh sejumlah pejabat dari KPU, Bawaslu, TNI, Polri, serta kepala daerah pelaksana PSU secara daring, menegaskan komitmen kuat pemerintah untuk menyukseskan pelaksanaan PSU secara damai dan demokratis.

“Melalui Desk Koordinasi Pilkada Serentak Kemenko Polkam akan terus memonitor perkembangan serta memastikan stabilitas politik dan keamanan di daerah tetap terjaga melalui koordinasi dan sinkronisasi langkah bersama jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta aparat keamanan,” ungkap Lodewijk.

Anggota KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa masa kampanye telah berjalan sesuai jadwal dan peraturan, serta tidak ada kampanye rapat umum mengingat sifat PSU yang terbatas. Kampanye dilakukan melalui pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran alat peraga, hingga iklan media massa yang berlangsung hingga 2 Agustus 2025.

“Adapun kampenye berupa pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik/debat terbuka antar paslon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) dan kegiatan lain yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundangan. Khusus untuk iklan media massa cetak dan elektronik telah berlangsung sejak 20 Juli hingga 2 Agustus,” ucap Idham.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Provinsi Papua, Hardin Halidin, juga mengimbau masyarakat untuk menciptakan suasana yang aman dan damai dalam pelaksanaan PSU. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan PSU merupakan kemenangan seluruh rakyat, bukan semata-mata penyelenggara atau pasangan calon.

“Mari kita hindari ujaran kebencian dan tindakan yang dapat merusak tatanan demokrasi. Jadikan PSU ini ajang pembuktian bahwa Papua mampu berdemokrasi dengan bermartabat,” ujar Hardin.

Di tengah maraknya kampanye hitam yang diarahkan pada salah satu pasangan calon, juru bicara pasangan calon nomor urut 2, Mariyo (Mathius D Fakhiri – Aryoko Rumaropen), Muh. Rifai Darus mengajak seluruh warga Papua untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh provokasi. Ia menegaskan bahwa pasangan Mariyo tetap mengedepankan kampanye yang santun, berdasarkan data, dan fokus pada semangat persatuan.

“Kami percaya rakyat Papua sudah semakin cerdas dalam menyaring informasi. Jangan biarkan fitnah dan hoaks memecah belah kita. Mari kita jaga damai Papua dan kawal PSU ini dengan penuh tanggung jawab,” tegas Rifai.

Dukungan juga datang dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Boven Digoel. Kepala Kemenag Yosepha, Tambonop menyerukan pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dan mengajak tokoh agama untuk berperan aktif menciptakan suasana damai.

“Perbedaan pilihan adalah hal yang wajar. Yang utama adalah menjaga persaudaraan dan mendukung siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin yang dipercayakan oleh Tuhan,” pungkas Tambonop.

Pemerintah dan penyelenggara pemilu terus berkomitmen untuk menjamin PSU berjalan aman, tertib, dan demokratis. Masyarakat diimbau tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dan menjaga semangat persatuan demi masa depan Papua yang lebih baik.
(*/rls)

Pemerintah Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Demi Sukseskan Pemungutan Suara Ulang

Jakarta – Pemerintah melalui sinergi lintas kementerian, lembaga negara, serta aparat keamanan terus mengintensifkan koordinasi demi menyukseskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2025 yang akan digelar pada 6 Agustus di Provinsi Papua, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Barito Utara. Kolaborasi ini menjadi langkah konkret dalam memastikan seluruh tahapan pemilu berjalan aman, tertib, dan demokratis.

Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Letjen TNI (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus menyampaikan kesiapan pemerintah jelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan Pilkada Ulang 2025 yang akan berlangsung pada bulan Agustus 2025.

“Melalui Desk Koordinasi Pilkada Serentak Kemenko Polkam akan terus memonitor perkembangan serta memastikan stabilitas politik dan keamanan di daerah tetap terjaga melalui koordinasi dan sinkronisasi langkah bersama jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta aparat keamanan,” ungkap Wamenko Lodewijk.

Diketahui, PSU memiliki karakteristik berbeda dari pilkada reguler sehingga memerlukan pendekatan yang adaptif namun tetap akuntabel. Masa kampanye dilakukan secara terbatas dan sesuai jadwal, tanpa rapat umum, melainkan melalui dialog warga, penyebaran alat peraga, serta media massa yang berlangsung hingga 2 Agustus 2025.

Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Mochammad Afifuddin menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dan pengawas pemilu di daerah dalam mencegah pelanggaran serta menjaga suasana damai. Menurutnya, PSU bukan hanya tanggung jawab penyelenggara, tetapi merupakan momen pembuktian bahwa demokrasi bisa dijalankan secara bermartabat oleh semua pihak.

“Hal krusial yang paling penting adalah memastikan seluruh pemilih dapat menggunakan hak pilihnya. Kami tidak ingin ada yang terhalang,” tegasnya.

Bupati Jayapura, Dr. Yunus Wonda mengimbau kepada masyarakat Kabupaten Jayapura, untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah masing-masing. Jelang PSU Pilbup Papua pada 6 Agustus 2025 mendatang.

“Masyarakat Kabupaten Jayapura harus tahu, bahwa kedua calon adalah Putra terbaik Papua, Siapapun yang terpilih itu adalah pilihan Tuhan,” ucap Bupati Wonda.

Pemerintah berharap agar seluruh masyarakat tetap tenang, tidak mudah terprovokasi isu negatif, dan menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Kolaborasi lintas sektoral yang kuat diyakini menjadi fondasi utama dalam menjamin kesuksesan PSU 2025, sekaligus memperkuat semangat demokrasi yang inklusif dan berkeadaban.

Kesuksesan PSU bukan hanya tanggung jawab penyelenggara, tetapi juga buah dari partisipasi aktif seluruh elemen bangsa. Dengan semangat persatuan dan komitmen bersama, PSU diharapkan menjadi contoh pelaksanaan demokrasi yang damai dan berkualitas.

Pemerintah Gratiskan PBG Hingga PPN Rumah Subsidi Sampai Desember 2025

Jakarta – Pemerintah terus menunjukkan keberpihakan nyata kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui program rumah subsidi.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menegaskan bahwa kebijakan Presiden Prabowo Subianto memberikan “karpet merah” bukan hanya untuk investor, tetapi juga untuk rakyat kecil.

“Kita kenal biasanya karpet merah itu hanya buat investor, tetapi di pemerintahan Presiden Prabowo diberikan kepada rakyat berpenghasilan rendah,” ujar Maruarar.

Maruarar memaparkan, pemerintah telah membebaskan sejumlah komponen biaya penting seperti Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini berlaku hingga Desember 2025.

“BPHTB itu biasanya bayar 5 persen, ini sekarang 0 persen. Kemudian PBG juga dibuat jadi 0. PPN ditanggung pemerintah, yang tadinya kebijakannya 0 persen dari Januari sampai Juni, sekarang diperpanjang sampai Desember,” jelasnya.

Menariknya, semangat gotong royong juga datang dari para pengusaha properti. Mereka turut mendukung program rumah subsidi dengan menanggung uang muka (DP) bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

“Para pengusaha ini luar biasa, mereka berbagi dengan cara membayarkan DP-nya, jadi DP-nya gratis, khusus buat anggota BPJS Ketenagakerjaan,” kata Maruarar.

Ia menyebut kolaborasi ini sebagai bentuk nyata dari “Berbaginomics”, ekonomi berbagi yang didorong semangat kolektif dan solidaritas sosial. Tak hanya itu, program CSR dari perusahaan besar juga turut menyokong pembangunan perumahan rakyat.

Senada, Ketua Umum DPP DEPRINDO (Asosiasi Developer Properti Indonesia), M Aditya Prabowo, turut menyampaikan apresiasi atas langkah progresif pemerintah. Ia menyebutkan, kuota rumah subsidi dengan skema FLPP meningkat dari 220 ribu menjadi 350 ribu unit, dengan tambahan anggaran Rp35,2 triliun sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235 Tahun 2025.

“Kebijakan ini merupakan bentuk nyata keberpihakan pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Ini juga menjadi dorongan besar bagi para pengembang untuk semakin aktif membangun rumah rakyat,” ujar Aditya.***

Kuota KPR Subsidi 2025 Ditambah, Akses Hunian Semakin Terjangkau

Jakarta – Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperluas akses kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.

Hingga akhir Juli 2025, program ini tercatat telah membiayai 137.015 unit rumah dengan total dana sebesar Rp17 triliun.

Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyampaikan bahwa capaian tersebut merupakan hasil kolaborasi luas antara pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor pembiayaan dan properti.

“Penyaluran ini dilakukan melalui kemitraan dengan 38 bank penyalur dan melibatkan 6.896 pengembang yang membangun rumah subsidi di 10.321 lokasi,” ujar Heru.

Melihat tingginya antusiasme masyarakat terhadap program ini, pemerintah memutuskan untuk menambah kuota KPR subsidi pada tahun 2025.

Heru menjelaskan bahwa target semula sebesar 220.000 unit kini ditingkatkan menjadi 350.000 unit.

“Penyesuaian ini juga diiringi dengan dukungan anggaran yang memadai, yaitu sebesar Rp35,2 triliun,” katanya.

Penambahan tersebut resmi tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235 Tahun 2025 sebagai bentuk penguatan investasi pemerintah di sektor perumahan.

Heru juga menyoroti dampak nyata dari program ini dalam mengurangi angka backlog perumahan.

Ia menyebut, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), backlog kepemilikan rumah turun dari 12,71 juta unit pada 2021 menjadi 9,90 juta unit pada 2023.

Di sisi lain, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menilai peningkatan kuota KPR subsidi sebagai langkah strategis yang tidak hanya berdampak pada akses hunian, tetapi juga membuka peluang kerja luas.

“Satu rumah subsidi itu melibatkan lima pekerja. Dengan target 350.000 rumah, ada lebih dari 1,6 juta orang yang terlibat langsung dalam proses pembangunan,” ungkapnya.

Ia juga menekankan efek ekonomi berantai dari program ini terhadap UMKM, sektor logistik, dan industri bahan bangunan.

Kontribusi signifikan juga ditunjukkan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang hingga pertengahan 2025 telah menyalurkan 97 persen dari total KPR subsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Corporate Secretary BRI, Agustya Hendy Bernadi, menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong pembiayaan perumahan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Peningkatan jumlah rumah subsidi yang disalurkan tidak hanya memperluas akses hunian terjangkau bagi MBR, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang lebih luas,” ujar Hendy.

[edRW]

Rumah Subsidi Solusi Hunian Terjangkau Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh: Fadillah Dwi)*

Pemerintah telah meluncurkan program rumah subsidi sebagai instrumen penting untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mewujudkan kepemilikan rumah. Program ini akan di perluas agar masyarakat mudah untuk mengaksesnya. pemerintah menargetkan pembangunan hingga 350.000 unit rumah subsidi yang tersebar untuk berbagai masyarakat. Lebih dari 138.000 unit rumah subsidi sudah terdistribusi, ini menunjukkan bahwa komitmen nyata pemerintah dalam menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan terhadap kebijakan ini.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk, mengatakan bahwa Kemendagri mendukung penuh pelaksanaan program 3 juta rumah. Sinergi antara kementerian dan lembaga terkait sangat penting untuk menyukseskan program ini, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.

Program rumah subsidi pada dasarnya merupakan upaya pemerintah untuk menyediakan akses perumahan yang layak dan terjangkau bagi kelompok masyarakat tertentu yang memiliki keterbatasan finansial. Lewat skema ini, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk pembebasan atau pengurangan pajak, bunga KPR rendah, dan kemudahan proses administrasi. Dengan demikian, MBR dapat memiliki rumah sendiri dengan cicilan ringan yang tidak memberatkan penghasilan mereka. Ini adalah bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi warganya, khususnya dalam aspek dasar seperti tempat tinggal.

Di sisi lain, pembangunan rumah subsidi juga mendorong pemerataan pembangunan. Banyak proyek perumahan subsidi yang dikembangkan di kawasan penyangga kota besar atau daerah berkembang, yang pada akhirnya menghidupkan ekonomi lokal. Munculnya perumahan baru membawa efek domino: kebutuhan akan infrastruktur meningkat, lapangan kerja terbuka, dan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar ikut tumbuh. Secara tidak langsung, rumah subsidi turut mendorong pemerataan kesejahteraan antarwilayah dan mengurangi tekanan kepadatan di pusat kota.

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menegaskan bahwa meskipun sejumlah pengembang mengusulkan kenaikan batas harga jual rumah subsidi, pemerintah memastikan tidak akan melakukan penyesuaian harga hingga akhir 2025. Kebijakan ini menjadi bukti keberpihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat, bukan semata pada mekanisme pasar. Direktur Jenderal Kawasan Permukiman PKP, Fitrah Nur, menuturkan bahwa para pengembang masih dapat menjalankan bisnisnya sesuai regulasi yang ada, dengan margin keuntungan yang dinilai tetap wajar. Karena itu, tidak ada alasan mendesak untuk menaikkan harga rumah subsidi yang justru berpotensi membebani penerima manfaat.

Program kebijakan rumah subsidi pemerintah adalah langkah efektif meminimalkan ketimpangan sosial dan memperkuat kesejahteraan masyarakat MBR. Dengan suku bunga rendah, DP terjangkau, cicilan ringan, serta target kuota besar sehingga program ini juga dapat menjalankan misi kesejahteraan nasional. Banyak hal yang dilakukan pemerintah demi berjalannya rumah subsidi ini yakni melalui implementasi kebijakan yang responsif terhadap perubahan sosial dan ekonomi misalnya pada revisi ukuran rumah subsidi, lalu perluasan akses terhadap segmen pekerja informal dan juga generasi muda, adanya perkuatan pengawasan agar subsidi tetap fokus kepada MBR yang benar-benar membutuhkan, serta sinergi lintas sector antar-kementerian, pengembang, bank (BTN), dan komunitas lokal.

Tentu, seperti kebijakan lainnya, rumah subsidi juga menghadapi berbagai tantangan. Masalah klasik seperti lokasi yang jauh dari pusat kota, akses transportasi publik yang terbatas, hingga kualitas bangunan yang belum seragam kerap menjadi sorotan. Namun demikian, dengan perbaikan berkelanjutan, sinergi antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat, masalah-masalah ini bisa diatasi. Apalagi, beberapa pengembang kini mulai berinovasi dengan membangun rumah subsidi yang lebih berkualitas dan memperhatikan aspek lingkungan serta desain yang humanis.

Dengan komitmen tersebut, program rumah subsidi bisa menjadi warisan kebijakan jangka panjang yang mengangkat taraf hidup jutaan keluarga Indonesia. Ini merupakan hal yang patut diapresiasi dan didukung demi terwujudnya hunian layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan rumah subsidi ini merupakan salah satu kebijakan sosial paling strategis dalam beberapa dekade terakhir untuk mencapai kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah. Dari sudut pandang dukungan publik, program ini bukan hanya soal memberikan rumah, tetapi memberikan kesempatan baru kepada jutaan keluarga untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Satu unit rumah subsidi bisa menjadi tumpuan harapan, sekaligus menyerap hingga lima tenaga kerja selama proses pembangunan dan distribusi sehingga mampu membuka lapangan kerja dan memberi stimulan ekonomi lokal.

Ke depan, program rumah subsidi memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen strategis dalam menciptakan keadilan sosial di sektor perumahan. Dengan terus meningkatkan kualitas pembangunan, memperluas akses, dan memperkuat pengawasan agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak, rumah subsidi dapat menjadi tonggak penting menuju Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Selain itu, Rumah Subsidi merupakan representasi model kebijakan berbasis keadilan sosial dan pembangunan ekonomi inklusif. Dengan komitmen tinggi, dukungan luas dari berbagai pihak, serta kebijakan yang terus diperbarui, program ini layak mendapatkan dukungan penuh sebagai salah satu tonggak transformasi sosial dan ekonomi nasional. Kebijakan ini harus didukung masyarakat karena di dalam kebijakan rumah subsidi ini bukan sekadar hunian, tetapi ini merupakan awal dari kehidupan yang lebih stabil, produktif, dan bermartabat bagi rakyat Indonesia.

)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik